Bagian 10

848 144 22
                                    

Siti duduk di sebelahku, sedangkan Indra tepat di kirinya. Pasangan belum halal itu menikmati film yang sedang ditayangkan. Sesekali tangan keduanya menarik popcorn keluar dari kotaknya lalu mengunyahnya dengan hati-hati, tampak kompak sekali.

Keduanya mengaku sama-sama memiliki kegemaran menonton film di bioskop. Jadi tak heran ketika aku bertanya pada Indra kemana dia membawa Siti saat adikku itu pulang kencan, bioskop cukup sering keluar dari bibirnya sebagai jawaban. Paling tidak, sekali dalam sebulan mereka akan ke tempat itu.

Awalnya aku pikir aku akan makan hati saat melihat kemesraan adikku bersama pacarnya. Bisa dibilang aku sudah cukup lama sendiri, meski baru dalam hitungan bulan sehingga takut akan merasa iri. Tapi nyatanya tidak.

Kalau dulu Jordy merangkul atau menautkan tangannya denganku saat berjalan untuk menunjukkan hubungan kami, Indra dan Siti tak seperti itu. Mereka lebih terlihat seperti berteman baik dibandingkan berpacaran.

Apa mungkin karena keberadaan aku dan Haqla? Mungkin Indra sengaja menjaga batasan agar aku tak salah bicara didepan orang tua kami nanti.

Aku mendesah tanpa suara sebelum menyandarkan punggungku. Tak perlu memikirkan mereka lebih jauh karena tak ada untungnya bagiku. Tatapanku kembali beralih kearah depan, menyaksikan film yang sedang ditayangkan itu tanpa minat.

Satu tangan yang terulur masuk ke dalam kotak popcorn yang aku pegang membuat perhatianku kembali teralihkan. Aku menoleh ke kanan, menatap sebelah wajah Haqla.

Ketika menjemputku bersama Indra, Haqla tampak begitu tenang. Seakan tak ada yang terjadi pada kami sebelumnya, dia menyapaku ramah. Senyum menawannya itu terpampang menggoda. Bahkan dia tampak tak perduli ketika aku menatapnya penuh permusuhan.

Aku memperhatikan bagian wajah Haqla yang saat ini terjangkau oleh penglihatan mataku. Mulai dari mata kirinya, kening, lekukan hidung hingga turun ke bibirnya.

Bagian terakhir itu yang tadi siang sudah menciumku lembut hingga membuat jantungku serasa berhenti berdetak. Haqla kembali mampu membuat tubuhku terasa membeku, sama seperti saat melihatnya telanjang sebelumnya.

Meski ciuman itu tak lama, setelah aku berhasil mencerna situasi saat Haqla menarik kepalanya menjauh, tangan kananku bergerak cepat. Aku menampar pipi Haqla yang membuat tanganku gemetar setelahnya.

Ada sedikit rasa bersalah dan menyesal saat melihat wajah Haqla yang memerah tepat dimana aku menamparnya. Tapi aku pikir dia memang pantas menerima itu sehingga aku membenarkan tindakanku. Apalagi Haqla sama sekali tak terlihat kaget, seperti sudah menduga aku akan melakukan itu.

Sadar Haqla menoleh kearahku, aku segera membuang pandangan. Tak disangka aku memperhatikannya sedemikian rupa dan entah berapa lama aku sudah melakukannya. Aku menelan ludah gugup, mencoba bersikap tenang meski jantungku berdetak kencang. Dia tidak akan salah paham kan?

Mataku membulat ketika Haqla meletakkan kepalanya ke bahuku. Tampaknya dia sangat suka membuatku kesal berujung marah-marah dan tak membiarkanku diam sebentar saja.

"Kamu pikir apa yang sedang kamu lakukan?" tanyaku berbisik. Aku menaik turunkan bahuku berharap dia menjauhkan kepalanya.

Haqla menahan gerakan dengan memeluk lenganku. Tak ada niatnya untuk menjauhkan kepalanya dariku. "Jangan pedulikan aku, Na. Fokus saja ke depan."

"Jangan pedulikan kamu gimana? Kepalamu berat tau." Apa dia pikir kepalanya itu seringan kapas sehingga bahuku tahan menahan beban itu?

Kepala Haqla bergerak, membuat tekanan di bahuku terasa sedikit berkurang. Tapi itu tak lantas membuatku merasa bebas. Kepala Haqla masih bertahan di bahuku meski tak sepenuhnya menekan disana.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang