Bagian 20

790 142 21
                                    

Dulu setiap kali aku menghadiri acara keluarga Jordy, entah itu pernikahan kerabatnya hingga perayaan ulang tahun, Jeanny selalu ada disana. Berdiri manis di sebelah ibu Jordy yang dengan bangganya memperkenalkan Jeanny sebagai anak perempuan dari sahabatnya. Karena itu Jeanny bukan lah orang asing lagi bagiku.

Saat bertemu disana, aku dan jeanny saling menyapa meski tak berbincang banyak. Selain canggung, tak ada bahasan yang bisa kami bicarakan selain hal-hal yang berkaitan dengan Jordy. Dengan interaksi singkat itu dan bagaimana perlakuan ibu Jordy pada Jeanny, aku akhirnya bisa mengerti keadaan.

Jeanny yang saat kali pertama ku temui masih berstatus sebagai seorang mahasiswi itu memiliki kekaguman lebih pada Jordy. Tampaknya jauh sebelum aku memiliki rasa yang sama. Ibu Jordy yang menyadari itu terlihat menaruh harapan pada mereka. Apalagi setelah tahu aku dan putranya tak bisa berakhir bersama.

Jadi sedikit banyak Jeanny tahu bagaimana perjalanan hubunganku dengan Jordy. Apalagi saat itu keduanya masih berperan sebagai kakak adik dimana Jordy suka berbagi cerita tentang hubungan kami padanya.

Tak heran ketika ada masalah di rumah tangga mereka, Jeanny langsung mengaitkannya denganku. Karena perempuan yang dicintai suaminya sebelum mereka menikah adalah aku. Entah apa yang terjadi, aku rasa Jeanny hanya salah paham pada suaminya.

Aku bisa memaklumi kesalahpahaman Jeanny. Tapi yang tak bisa ku terima, dia mengumumkan hal yang tidak benar itu didepan orang lain. Melayangkan tangannya tanpa meminta penjelasan dariku. Padahal dia bisa berbicara baik-baik entah nantinya dia mau percaya atau tidak.

Dan lebih mengenaskannya lagi, Haqla juga mengumumkan hal yang belum patut untuk dia katakan didepan adik ayahku. Tante Vera tampak begitu kaget mendengarnya. Padahal tanteku itu baru saja mendapat jawaban dari pertanyaannya lima menit lalu, dan tak seharusnya bereaksi berlebihan disaat sudah menduganya.

"Woah! Luar biasa sekali kamu, Mbak. Bahkan ketika sudah mau menikah pun kamu masih sempat-sempatnya menggoda suamiku?"

"Aku sudah bilang dengan jelas ya, Jen. Aku nggak pernah lagi menghubungi suamimu setelah kami putus. Terakhir kami bicara dihari dia mengundang ku pernikahan kalian."

Bahkan kontak Jordy sudah ku hapus dari ponsel meski di kepala masih tertinggal dengan jelas angka-angkanya. Semua barang-barang yang menjadi saksi hubungan kami pun, entah itu hadiah hingga ke foto sudah aku musnahkan semua. Tidak ada lagi yang tertinggal sehingga aku tak punya alasan untuk menghubunginya.

"Tapi aku lihat sendiri dia mengangkat panggilan darimu, Mbak."

"Telingamu itu cuma hiasan ya? Kamu sebenarnya tuli?"

Aku berdiri didepan Haqla. Menghadang lelaki itu yang terlihat semakin marah. Jika Jeanny begini terus, aku pun bisa berakhir sama seperti Haqla.

"Sebaiknya kamu jaga calon istrimu ini," ucapnya pada Haqla tapi menunjuk tepat ke wajahku. "Aku bisa melakukan lebih dari sekedar menamparnya kalau dia masih menggoda suamiku."

Aku juga bisa melakukan lebih dari sekedar sabar kalau dia masih tak bisa tenang. "Masuk ke rumahku dulu, Jen. Kita bicarakan baik-baik. Aku nggak mau kamu pergi dengan kesalahpahaman yang belum selesai."

"Kesalahpahaman? Aku nggak sebodoh itu sampai salah, Mbak."

"Tapi aku juga nggak sebodoh tuduhan kamu itu. Untuk apa aku menghubungi suamimu coba?"

"Tentu saja kamu bisa bersikap bodoh kalau nyatanya kamu masih mencintai suamiku."

"Perempuan ini...." Aku menahan tangan Haqla di punggungku. Lelaki ini tidak bisa diam.

Akh! Ini rasanya begitu sulit. Bukan hanya satu yang perlu aku tenangkan melainkan dua sekaligus. Sedang tanteku bersama dua pasang mata lainnya hanya menonton.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang