Bagian 18

615 123 12
                                    

"Loh? Tadi Ayah ajak kamu nggak mau. Datang juga jadinya. Kesini naik apa?" Ayah bertanya sambil menepuk satu kursi kosong di sebelahnya, menyuruhku untuk duduk. Dengan patuh aku menuruti.

Dari tempat Ayah sekarang, posisinya memang agak tertutupi sehingga tak bisa sepenuhnya melihat kearah pintu gudang. Karena itu Ayah tak melihatku ketika turun dari ojek. Saat aku bertegur sapa dengan pegawai gudang, baru Ayah menyadari kedatanganku.

"Ina naik ojek tadi."

Setelah makan siang, Haqla mengajakku keluar. Sayangnya aku sudah punya rencana untuk menyusul Ayah kesini. Aku menolak ajakan Haqla dan menyuruhnya pulang menemani Indra. Adikku itu mungkin tengah mempertimbangkan pembicaraan kami pagi tadi.

"Kalau sudah punya rencana kesini, harusnya sekalian sama Ayah saja tadi."

Sebelum makan tadi, Ayah memang sempat mengajak ku ke gudang. Tapi aku menolak dan baru menyusul satu setengah jam kemudian. Sengaja ku lakukan itu setelah mempertimbangkan kalau Ayah mungkin tak terlalu sibuk lagi.

"Tadinya Ina sengaja menolak. Ina pikir kalau ikut Ayah, Bunda juga pasti ikutan."

"Bunda kan katanya mau pergi jenguk Bu RT nanti habis ashar. Nggak jadi?"

"Ina baru tau kalau Bunda sudah janjian sama ibu-ibu untuk jenguk Bu RT. Itu pun taunya setelah Ayah berangkat."

Ayah menatap ku heran. "Memangnya kenapa kalau kamu pergi terus Bunda juga ikutan?"

Aku menggeleng. "Nggak kenapa-napa. Cuma Ina lagi mau ngobrol berdua sama Ayah."

Ayah menggeser posisi duduknya hingga menghadap padaku. "Kalau mau minta ijin untuk nikah, jangan di gudang juga, Na. Memang baiknya kita bicarakan itu di rumah."

Aku meringis, mengabaikan senyum geli Ayah yang timbul setelahnya. "Kenapa Ayah mikirnya kesana coba? Siapa yang mau minta ijin untuk nikah?"

"Oh, jadi bukan ya?"

"Bukan dong, Yah."

Ayah terkekeh hingga menarik pegawainya untuk menoleh. Hanya melihat sesaat, karena keduanya tampak tak bisa bergabung dalam pembicaraan seperti yang biasa dilakukan karena agak sibuk dengan pekerjaan.

"Ayah kira begitu. Salah ternyata."

"Tapi Ina nggak tau juga sih, pastinya pembicaraan kita bisa sampai kesana atau nggak nantinya."

Kedua alis Ayah terangkat. "Jadi tergantung tanggapan Ayah, begitu?"

Aku mengangguk ragu. "Mungkin?"

"Kalau begini Ayah jadi penasaran." Ayah mengusap telapak tangannya. "Kamu mau kita pindah tempat?"

"Habis ashar kan ada barang yang mau keluar."

"Nanti kan bisa mereka yang tangani," ucap Ayah merujuk pada pegawainya.

"Kalau mereka bisa tangani, kenapa Ayah tetap ke gudang?"

"Urusan Ayah kan tadi, sebelum kamu datang. Jadi sudah selesai sekarang."

Aku melingkarkan tanganku ke lengan Ayah sebelum menyandarkan kepalaku disana. Ayah sedikit bergeser, menyamankan posisi kami. Sesekali bermanja-manja begini dengan Ayah tak masalah. Setua apapun umurku, bagi Ayah aku tetap putri kecilnya.

"Kita disini aja, Yah. Lagian nggak bicara serius juga."

"Kalau kamu mau membicarakan isi hati kamu sama Ayah, itu artinya bukan sesuatu yang kamu anggap main-main, Na. Apalagi soal masa depan kamu. Kita harus bicarakan baik-baik."

Aku tahu. Bisa hitungan jari aku mau terbuka pada Ayah soal urusan hati. Dan setiap kali kami bicara tentang itu, Ayah tak pernah menanggapi ceritaku dengan santai. Ayahku itu pendengar dan pemberi nasehat yang baik. Jika tak setuju dengan apa yang ku lakukan, Ayah akan mengarahkan ku pada hal yang menurutnya benar dengan cara lunak. Meski aku cukup sering tak mendengarkan Ayah.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang