Pemilik kafe yang kami datangi sekarang adalah salah satu kerabat jauh Siti. Letaknya tak jauh dari kampus tempatku kuliah dulu. Meskipun bukan di pinggir jalan raya utama yang dilalui banyak kendaraan, tapi tetap ramai pengunjung. Mungkin karena baru dibuka, sekitar dua bulan yang lalu atau kurang dari itu. Euforia kafe baru masih terasa jelas.
Karena Haqla suka mengambil arah jalan yang membuatku sampai ke rumah lebih lambat, kami melewati kafe ini. Rasanya ingin mampir. Tapi melihat isinya dipenuhi remaja dan anak kuliahan, aku mengurungkan niat.
Awalnya aku begitu antusias saat Siti menghentikan motornya di parkiran kafe sampai kami masuk ke dalam. Namun ketika raut wajah Siti perlahan berubah tegang setelah pesanan kami terhidang di meja, tampaknya aku tak bisa bersantai ataupun berpuas diri menikmati suasana.
"Sebenarnya kemarin aku sama Abang bertengkar disini, Kak," ucap Siti sebelum tersenyum malu. "Agak memalukan sih untuk kasih tau Kak Ina. Tapi ya nyatanya memang begitu yang terjadi."
Itu sesuai dengan dugaanku sehingga aku tak terlalu kaget mendengarnya. Indra yang dibilang Haqla tampak seperti lelaki yang sedang patah hati ternyata memang menghadapi masalah percintaan.
Aku harap hanya pertengkaran kecil yang tak membuat keduanya berakhir putus. Namun memikirkan alasan Siti memintaku bertemu, tampaknya bukan masalah sepele yang tengah mereka hadapi.
"Entah siapa yang kasih tau Abang kalau aku disini ketemuan sama laki-laki lain. Dan kayaknya banyak info salah juga yang dikasih ke Abang. Jadi ketika Abang datang, dia langsung marah-marah pada orang yang aku temui."
Aku memijat ringan pelipis kanan. Adikku yang ku pikir sudah cukup dewasa ternyata masih belum pantas dibilang begitu. Tampaknya emosinya masih labil sehingga jangankan bicara baik-baik, mempercayai pacarnya saja dia belum mampu.
"Karena malu dilihat orang banyak dan nggak mau bikin keributan juga, aku jadinya emosi. Akhirnya ya begitu, Kak. Kami bertengkar dan masih belum ada komunikasi sampai detik ini."
Tolong jangan katakan kalau adikku itu merajuk dan tidak menerima panggilan dari gadis yang dicintainya. Memalukan sekali tingkah bocah itu jika benar adanya.
"Memangnya kamu bertemu dengan siapa sampai Indra bisa lepas kendali begitu?" tanyaku. Kalau bukan mantan pacar atau lelaki yang dianggapnya saingan, Indra tak akan secemburu itu.
"Calon suami Sinta, Kak. Karena nggak enak bicara di rumah, aku minta ketemuan disini."
Aku terbelalak kaget, tentu tak percaya dengan apa yang ku dengar. Calon suami dari adiknya Siti? Gadis yang baru lulus SMA itu sudah akan menikah saja?
"Nggak disangka Sinta sudah akan menikah ya," ucapku terkekeh miris. Kenapa jodoh orang lain bisa datang begitu cepat? Sementara aku yang sudah menunggu tiga puluh tahun lamanya tapi calon ayah anak-anakku masih belum tampak batang hidungnya.
"Belum bisa dibilang calon suami juga sih, Kak. Tepatnya pacar Sinta. Tapi rencananya dia dan keluarganya mau melamar secara resmi dalam waktu dekat."
Yang aku tahu, adiknya Siti itu tidak lulus masuk perguruan tinggi negeri sebelumnya. Dia bersikeras menolak ketika ditawari keluarganya untuk kuliah di universitas swasta. Jadi Sinta ikut bimbingan belajar untuk menghadapi ujian masuk berikutnya.
Selain bimbel, keseharian gadis itu hanya di rumah saja. Mendengar cerita Siti, aku sempat menduga Sinta sedikit pendiam. Tapi siapa yang menyangka ternyata dia sudah berencana untuk menikah.
"Aku mengajaknya bertemu karena mau meminta pengertiannya. Aku ingin dia kasih jeda waktu yang agak panjang dari acara lamaran ke nikahannya nanti. Eh Abang malah tiba-tiba datang, marah-marah nggak jelas dan merusak pembicaraan kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
Billing My Promise
ChickLitTiga puluh tahun hidupnya terasa baik-baik saja meskipun Inayah Rubia sempat jatuh bangun dalam hubungan sosial dan percintaan. Tapi dengan hadirnya Haqla Fakhri Jahid, teman bermain adiknya sekaligus tetangganya yang dulu menghilang, kehidupan Inay...