Bagian 26

430 72 5
                                    

Warning!!!
agak 18+ ☺️

Tetangga sebelah ternyata bukan hanya kenalan biasa. Iqbal adalah teman, atasan tidak langsung Haqla di kantor sekaligus pemilik rumah yang kami tempati sekarang.

Setelah berkenalan tadi, Iqbal bercerita kepadaku tentang bagaimana awalnya dia dan istrinya bertemu Haqla, hingga bisa berakhir akrab seperti sekarang.

Ahmad namanya, lelaki yang lebih dulu menjalin pertemanan dengan Haqla adalah sepupu dari Wulan, istri Iqbal. Pasangan suami istri itu pertama kali bertemu Haqla ketika berkunjung ke rumah Ahmad disaat bersamaan.

Kemudian karena berkaitan dengan pekerjaan, Iqbal menggunakan jasa Haqla atas rekomendasi dari Ahmad. Setelah itu mereka jadi sering berkomunikasi dan bertemu setiap kali Iqbal pulang ke rumah mertuanya.

Katanya, sudah lama Iqbal mengajak Haqla untuk pindah kerja ke kantor mereka sekarang. Namun karena di perusahaan sebelumnya Haqla masih berstatus sebagai pegawai kontrak, dia belum bisa mengundurkan diri. Lelaki berusia empat puluh tahunan itu akhirnya berhasil membawa Haqla setelah kontrak kerjanya selesai.

Keputusan pindahnya Haqla beriringan dengan kabar duka atas kematian Ahmad. Lelaki itu meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan, kira-kira terjadi sekitar setengah tahun yang lalu. Tepatnya beberapa hari sebelum Haqla pulang kampung untuk liburan.

Bicara tentang Ahmad, namanya memang tidak asing bagiku. Aku pernah mendengar Haqla menyebutnya sebelum ini. Itu pun jika Haqla memang mengungkit orang yang sama.

Kesedihan karena kepergian Ahmad masih terasa kuat. Sebab saat aku bertanya tentang almarhum, ketiga orang ini terlihat tak nyaman. Mungkin karena itu lah, Wulan segera menghentikan soal cerita masa lalu dan menggantinya dengan menanyai tentang kisahku bersama Haqla. Tentu saja aku hanya menjawab apa yang ku rasa pantas untuk dikatakan.

"Semoga betah tinggal disini ya, Na. Kalau ada apa-apa atau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk bilang ke saya."

Pasangan suami istri itu mengantarku dan Haqla keluar rumah. Asyik berbincang sudah membuat kami lupa waktu. Tak sadar ternyata malam sudah larut saja.

Aku membalas usapan pelan Wulan di punggungku dengan senyuman tipis. "Aamiin. Terima kasih lebih dulu atas tawarannya, Mbak. Maaf kalau nanti saya jadi merepotkan."

"Sama-sama, Na. Bosan sendirian di rumah saat Haqla kerja, main-main saja ke sini. Saya nggak kemana-mana kok, cuma di rumah aja."

"Iya, Mbak. Saya pamit dulu. Maaf karena kedatangan kami jadi ganggu waktu istirahatnya Mbak sama Mas. Sampai selarut ini juga."

Pembawaan Wulan yang tenang dan lembut terus mendorongku untuk bersikap sungkan padanya. Aku jarang bertemu dengan perempuan seperti dirinya. Di rumah Ayah juga lingkungan sekitar sana di dominasi oleh perempuan keras, baik keras suaranya ataupun kepalanya. Seperti aku, Bunda, Lingga dan Tante Vera contohnya.

"Nggak papa, Na. Saya malah senang kalian langsung kesini, padahal pasti capek baru selesai beres-beres."

Aku merasa agak lelah bukan karena membersihkan rumah, melainkan menempuh perjalanan yang agak jauh. Lagi pula tidak banyak yang bisa ku bereskan setelah sampai disini. Aku mendapati rumah dalam kondisi bersih.

Aku pun menyusul Haqla yang kini sudah berada di teras rumah kami. Dia berdiri memunggungi ku, memutar kunci dan kemudian membuka pintunya agak lebar.

Setelah melirik ke sebelah, dimana ternyata kedua orang tadi sudah tak ada di teras lagi, aku berjalan melewati Haqla. Dia sengaja menunggu ku untuk masuk rumah lebih dulu.

"Aku nggak nyangka ternyata Mbak Wulan juga lebih tua dari suaminya. Padahal kelihatannya nggak begitu," komentarku saat Haqla mengunci pintu kembali. Aku bersandar ke dinding, memperhatikannya.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang