Bagian 27

500 86 14
                                    

Seolah-olah tak ada yang terjadi malam itu, keesokan harinya Haqla bersikap seperti biasa. Dia lebih dulu membuka mata, mandi, kemudian membangunkan aku. Kami beribadah bersama, sebelum dia membantuku menyiapkan sarapan.

Sikap baiknya itu membuatku serba salah. Mau mendiamkannya tapi tidak ada lagi momen yang tepat. Mau bersikap seperti biasanya tapi aku sedikit tak rela dengan apa yang terjadi malam itu.

Hingga akhirnya satu hari berlalu, lalu hari berikutnya pun muncul. Terulang kembali untuk keesokan harinya, begitu saja tanpa ku sadari. Haqla tidak membahasnya, aku pun tidak bertanya lagi.

Untuk beberapa minggu ini, menjadi istri Haqla sama sekali tidak terasa berat. Dia hanya agak manja, apa-apa mau dilayani. Untungnya masih bisa ditoleransi tingkat kesabaranku yang setipis tisu.

Sebelum tidur Haqla akan memelukku diatas kursi. Dia akan bercerita tentang apa yang terjadi selama dia berada diluar dan bertanya apa saja yang ku lakukan di rumah. Katanya aku akan tertidur kalau melakukannya di atas kasur, jadilah harus mendengarnya di ruang tamu.

Di akhir pekan Haqla membawaku jalan-jalan. Benar-benar memanjakan ku dengan mengenali kota, berbelanja hingga sekedar makan. Sudah pasti dia sadar kalau aku merasa kebosanan hanya di rumah saja.

Mau mencari pekerjaan, sayangnya aku sudah terlanjur menyetujui permintaan Haqla. Main ke rumah sebelah pun rasanya ragu, aku takut mengganggu. Mungkin Wulan dan anaknya mau tidur siang, tapi aku malah datang menghalangi. Jadi lah aku hanya mengisi waktu dengan bereksperimen di dapur, bersih-bersih rumah hingga menonton drama.

"Biar aku saja," ucap Haqla mengambil alih pisau dan jagung dari tanganku. "Potong berapa, Na?"

"Empat aja," ucapku mendekati kompor. Membalik ayam yang sedang digoreng.

Haqla minta dibuatkan ayam goreng dengan sambal mentah. Untuk sayurnya, dia ingin makan sayur asem. Aku tadi sudah menggoreng kerupuk juga untuk tambahan teman makan.

Aku suka setiap kali Haqla memberitahuku apa yang ingin dia makan. Jadi aku tak perlu pusing memikirkan hari ini harus masak apa untuknya. Walaupun dia tidak pilih-pilih makanan dan melahap apapun yang ku hidangkan padanya.

"Jagungnya satu ini sudah cukup?"

Aku mengangguk setelah memastikan dia tengah melihatku. "Kamu bilang kita keluar sore ini. Pasti nggak makan malam di rumah juga kan?"

"Benar. Kita makan malam diluar saja. Ini langsung masuk kesana?" tunjuknya pada panci kecil yang sudah ku isi air diatas kompor.

"Cuci dulu bentar."

"Labunya juga belum dicuci?" tunjuknya pada labu siam yang sudah dipotong-potong.

Aku menggeleng. "Itu sudah," jawabku. "Nanti jagung dulu masuk ke panci, labunya belakangan."

"Karena waktu matangnya beda," komentarnya terdengar samar karena beriringan dengan suara air keluar keran.

"Iya," aku membenarkan. "Kalau masuknya barengan, nanti labunya sudah lunak tapi jagungnya masih agak keras."

"Ini apinya sudah nyala belum?" tanyanya agak membungkuk setelah memasukkan jagung. Tak perlu ku jawab lagi karena dia sudah melihatnya sendiri.

"Sekalian irisan bawang, cabe sama itu, lengkuasnya ada di talenan juga masuk sekarang aja. Kasih gula garam dikit sama lada. Bumbu raciknya nanti aja."

Haqla pun mengikuti panduanku dengan baik. Untuk urusan dapur katanya dia memang agak familiar. Meski kadang hanya membuat menu yang sama berulang kali.

Jujur aku senang saat Haqla ada di rumah. Dia akan terus berada didekatku. Membantu apa saja yang sedang ku kerjakan, termasuk masak atau sekedar menjemur pakaian. Jadi rasa sepi saat dia bekerja seakan terobati dengan keberadaannya.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang