Bagian 13

869 151 22
                                    

Usai makan malam, Ayah dan Bunda mengajak Indra untuk berbicara serius tentang rencana masa depan hubungannya bersama Siti. Indra awalnya menolak. Dia begitu enggan untuk membahas apapun yang berkaitan dengan itu.

Katanya tak perlu dipikirkan sekarang, nanti-nanti saja. Toh Ayah dan Bunda akan jadi orang pertama yang diberitahu apapun rencananya. Dia bahkan beralasan mengantuk, butuh tidur cepat, lelah dan sebagainya.

Karena orang tua kami tetap bersikeras dan Indra tentunya kalah berdebat, pada akhirnya dia terpaksa mengalah. Namun sayangnya Indra menolak untuk mengikut sertakan aku dalam pembicaraan mereka. Aku tidak ikut atau sama sekali tidak perlu adanya pembicaraan, begitu ancamannya yang membuat Bunda segera menariknya untuk pindah tempat.

Namun Indra lupa bahwa aku adalah Inayah. Kakaknya ini bisa melakukan apapun jika aku ingin dan penasaran. Karena aku merasa perlu tahu isi hati Indra, aku harus mendengar langsung apa saja yang akan keluar dari mulutnya. Terutama jika rencana masa depannya berkaitan denganku.

Karena itu aku meninggalkan Haqla yang awalnya tampak sibuk dengan ponselnya. Sekali lagi, mungkin dia sedang berkirim pesan dengan pacar atau gebetannya. Semoga saja begitu karena aku berdoa itu benar-benar terjadi. Dengan begitu Haqla tak akan mengganggu ku lagi.

Haqla hanya melirikku sekilas, tak mengatakan apapun untuk menegur apalagi bertanya apa yang akan aku lakukan. Sedikit banyak dia sudah paham bagaimana sifatku.

Aku melangkah pelan mendekati kamar Indra. Sebisa mungkin berusaha untuk menjaga langkah kaki agar tak menimbulkan suara. Meski aku yakin Indra dan kedua orang tuaku didalam sana tak akan mendengar apapun, tetap saja aku tak mau ambil resiko.

Dengan penuh kehati-hatian, aku mendorong pintu kamar. Hanya membuat sedikit celah. Akan ketahuan jika aku membukanya lebih lebar lagi. Karena itu aku jadi bisa mendengar suara dari dalam sana. Pembicaraan ketiganya sudah dimulai. Beruntung aku tak ketinggalan banyak.

"....kepastian pada keluarga Siti, mereka bisa saja mendorong Siti untuk menerima lelaki yang lebih mampu memberikannya kejelasan status. Kamu nggak masalah kalau nanti ditikung orang lain?"

Suara Bunda terdengar tenang dan sedikit berbeda, tak seperti bagaimana cara bicara Bunda sehari-hari. Andai saja Bunda selalu bicara dengan nada begitu bahkan ketika sedang marah pun, rumah pasti akan selalu terasa menyenangkan.

"Ditikung gimana? Siti nggak mungkin akan pindah ke lain hati, Bunda. Cuma aku yang dia sayang."

Aku memang tahu betapa besarnya perasaan Siti pada Indra, apalagi sebaliknya. Jadi aku tak bisa menyebut adikku itu terlalu percaya diri jika berkata begitu. Tapi ketika Indra yang mengucapkannya, entah kenapa aku cukup merasa geli sendiri.

Mungkin karena di mataku Indra masih terlihat seperti seorang bocah terlepas dari fakta bahwa dia lelaki yang sudah berusia dua puluh lima tahun dan siap untuk menikah. Ah, kenapa waktu cepat sekali berlalu?

"Kalau ada hal yang mengubah pikiran Siti bagaimana? Ada sesuatu yang menekannya sehingga nggak lagi mementingkan perasaannya ke kamu?"

"Apa maksud Bunda?"

Karena Indra bertanya dengan suara yang terdengar berbisik, aku mendorong kepalaku semakin mendekati celah pintu.

"Bunda dengar Sinta akan menikah. Keluarganya mungkin nggak mau dia melangkahi kakaknya. Apa yang akan kamu lakukan kalau Siti berpikir nggak mau jadi hambatan kebahagiaan adiknya sehingga mencoba menerima lelaki lain yang sudah jelas siap untuk segera menikahinya?"

Sempat hening sesaat sebelum suara Indra terdengar bergetar. "Siapa yang bilang begitu? Bunda tau dari siapa? Aku belum dengar kabar apapun dari Siti."

Karena kamu masih perang dingin dengan pacarmu, bambank!

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang