Bagian 5

1K 174 15
                                    

Ayah dan Bunda tampak seperti orang tua yang tengah menyambut kepulangan anak mereka setelah sekian tahun lamanya meninggalkan rumah. Memang tidak ada isak tangis yang keluar atau drama berlebihan yang ditunjukkan Bunda. Tapi sikap keduanya terhadap Haqla jelas menunjukkan kalau lelaki itu masih diperlakukan sama seperti dulu ditengah-tengah keluarga kami.

Pada awalnya Haqla tampak terkejut. Apalagi ketika kedua orang tuaku bergantian memeluknya erat dengan momen yang terasa hangat. Wajah kagetnya itu terlihat lucu sehingga aku nyaris tertawa dibuatnya.

Namun setelah itu Haqla menunjukkan sikap nyaman. Sama seperti sosoknya dulu yang ku ingat, Haqla begitu tenang dan sopan. Dia sama sekali tak risih saat diharuskan menghadapi Bunda yang cenderung memiliki antusiasme berlebihan.

"Seperti yang bisa kamu lihat sekarang, Jahid. Kami bertambah tua."

Saat Haqla menanyakan kabar dan Bunda kemudian menjawabnya, secara acak aku mengeluarkan satu kotak bolu dari salah satu plastik berwarna putih. Memang cukup banyak oleh-oleh yang dibawa orang tuaku dari liburan singkat keduanya. Tapi tentu saja untuk masing-masingnya sudah ada yang punya.

Jadi tak heran jika aku mungkin hanya mendapat bagian satu kotak bolu yang berukuran sedang. Itu pun untuk seisi rumah, bukan hanya untukku seorang.

Yah, memang seperti ini lah kalau tinggal di desa yang sama dengan keluarga besar orang tuaku. Sebelum mereka menanyakan oleh-oleh dari liburan, akan lebih baik Bunda menyiapkannya lebih dulu. Aku menyebutnya, dibungkam dulu sebelum disenggol.

Meskipun hanya tinggal di desa, bisa dibilang keluargaku hidup berkecukupan. Jika dibandingkan dengan keluarga besar yang tinggal disini juga, jalan rezeki keluarga kami lebih dimudahkan.

Dulu semasa masih muda, Ayah bekerja di kota sebagai buruh pabrik. Setelah memiliki keinginan untuk berumah tangga, Bunda yang saat itu merupakan kekasih Ayah mau untuk dinikahi. Tapi Bunda menolak untuk dibawa ke kota karena harus mengurus kakek dan nenekku yang mulai sakit-sakitan.

Ayah yang pada dasarnya terlalu cinta pun akhirnya mengalah. Ayah kembali ke desa dengan rencana pekerjaan dan modal yang cukup. Ayah memulai usahanya dengan membuka jasa penggilingan padi. Itu cukup menjanjikan karena hampir semua penduduk di desa menjadikan lahan sawah mereka untuk ditanami padi.

Sepanjang usaha itu berjalan, Ayah kemudian mulai merambat menjadi agen beras. Kemudian sedikit demi sedikit Ayah mengumpulkan uang dan membeli tanah. Sebagian tanah yang dibeli Ayah ada yang dijadikan sebagai lahan perkebunan dengan sistem bagi hasil dan sisanya disewakan.

Karena itu apa yang keluargaku lakukan sering menjadi perhatian dari yang lain. Liburan berdua yang menjadi rutinitas Ayah dan Bunda pun kadang menjadi serba salah. Tidak pamit dan pergi diam-diam, salah. Pamit sebelum pergi pun lebih salah lagi.

Jadi untuk membungkam omongan buruk, Bunda selalu membeli oleh-oleh yang nanti akan dibagikan. Dan sepertinya itu akan jadi tugasku untuk mengantarnya nanti.

"Meskipun semakin tua, untungnya kita masih diberi kesehatan. Jadi mau bepergian kemana pun, badan ini masih tetap kuat," ucap Ayah menambahi jawaban Bunda.

Aku sampai di rumah bertepatan saat kedua orang tuaku kembali. Karena itu aku masih mengenakan pakaian kerja, duduk lesehan diatas karpet ruang keluarga dan bukannya menghindari Haqla seperti sebelumnya. Sementara Haqla bersama dengan Ayah dan Bunda berada diatas sofa.

"Ibumu apa kabar? Sehat juga kan?"

Pertanyaan Bunda membuat kepalaku menoleh pelan agar bisa melihat wajah Haqla. Aku masih ingat bagaimana respon Haqla ketika aku menanyakan ibunya. Karena itu aku penasaran bagaimana tanggapannya atas pertanyaan Bunda.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang