Bagian 19

683 127 14
                                    

Dari jarak yang menurutku cukup jauh ini, aku masih bisa melihat wajah Haqla dengan jelas. Dia tampak begitu kesal. Tentu aku tau penyebabnya. Sesaat mata tajamnya memperhatikan lelaki yang kini berjalan di sebelahku.

Pandanganku tak beralih dari Haqla yang bergerak turun dari motor. Dia menunggu ku mendekatinya dengan dagu terangkat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.

Haqla tampak angkuh. Tapi tetap mempesona disaat bersamaan.

Katakan saja kalau aku ini gadis tak tahu malu dengan memuji Haqla yang sebelumnya sudah berulang kali ku tolak. Ku akui aku mulai sering memperhatikan lalu memuji lelaki yang sedang memperjuangkan restu dari bundaku itu.

Jadi tidak ada salahnya kan untuk itu? Setelah berhasil mengantongi restu Bunda, dia akan menjadi suamiku.

Esok hari setelah aku memberi persetujuan tentang pernikahan pada Haqla, pulang kerja aku mendapati Bunda duduk di teras rumah bersama Ayah. Sedikit pun tak ada pemikiran kalau Bunda sedang menunggu ku. Aku pikir keduanya sedang bersantai.

Tapi setelah Haqla pergi, Bunda bergegas menarikku untuk masuk ke rumah. Kami berdiri saling berhadapan di ruang keluarga. Sementara Ayah tetap di teras. Mungkin karena Bunda yang tak mengajak Ayah, atau karena Ayah sudah tau apa yang akan disampaikan Bunda.

"Jahid sudah cerita ke kamu tentang keluarganya?"

Pertanyaan Bunda saat itu secara tidak langsung mengatakan kalau beberapa jam sebelumnya Haqla sudah bercerita tentang masalah keluarganya.

"Baru kemarin dia cerita ke Ina secara lengkap. Dia sudah cerita ke Bunda ya?"

"Tadi habis makan siang dia cerita ke Ayah sama Bunda, tentang semua yang dia lalui dan kondisi keluarganya sekarang." Untuk sesaat Bunda menatapku lekat sebelum melempari ku dengan pertanyaan. "Kamu nggak masalah dengan itu?"

Secara jelas, Bunda menanyakan pendapatku. Itu tandanya Bunda pun tahu dan yakin kalau aku sudah menerima Haqla.

"Ina nggak masalah sih, Bun. Haqla nggak ada kaitannya dengan masalah ayahnya. Lalu tentang ibunya, Haqla bilang nggak akan jadi masalah untuk kami. Bunda sendiri gimana?"

Aku tak mendapat jawaban pasti selain helaan nafas kasar dari Bunda. Entah itu pertanda baik atau malah sebaliknya, aku tak bisa menilai. Bunda mendorong lengan hingga kemudian punggungku. Mengatakan aku bau keringat dan menyuruhku untuk segera mandi.

Setelahnya Bunda tak lagi membicarakan apapun yang berkaitan dengan Haqla hingga beberapa hari pun sudah berlalu. Haqla bilang, Bunda mungkin butuh waktu untuk berpikir. Karena itu aku biarkan saja tanpa menjadi pihak yang lebih dulu menyinggungnya.

Rehan memelankan langkahnya, membuatku refleks mengikuti. Perbincangan yang terakhir kali itu untungnya tak membuat kami berdua canggung di tempat kerja. Sehingga ketika Rehan menyapa saat kami berpapasan tadi, aku dengan santai bisa meladeninya.

Aku tak perlu memikirkan lagi apa dan bagaimana tanggapan orang lain ketika melihat kami jalan berdua seperti ini. Karena Rehan bilang, dia sudah mengkonfirmasi kebenaran pada Pak Irwan soal kami terutama kesalahpahaman tentangku. Hanya tunggu waktu Pak Irwan atau guru lain yang tak sengaja mendengar ucapan Rehan akan menyebarkannya.

Namun bukannya menuju kearah motornya yang terparkir, Rehan malah mengikuti ku mendekati Haqla. Senyum ramah Rehan dibalas Haqla dengan raut datar.

"Kita cukup sering bertemu tapi belum sempat menyapa dengan benar. Saya Rehan." Dia benar. Bahkan terakhir kali bertemu pun keduanya hanya sekedar menganggukkan kepala.

Haqla menatap tangan Rehan yang terulur sebelum menjabatnya singkat. "Haqla."

"Masih kuliah atau lagi nyari kerja, Bang?" Rehan mencoba untuk beramah tamah.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang