Bagian 17

679 116 7
                                    

Lingga menatap ku lekat saat ku curahkan semua isi hatiku padanya. Dia menyimak dengan seksama, tanpa menyela meski ceritaku panjang dan mungkin agak membosankan.

Mulai dari bagaimana Haqla membuatku tidak tenang hingga aku yang kini tak lagi menatapnya sama seperti biasa. Aku mengatakan semua itu pada Lingga.

Kemarin aku dan Haqla menghabiskan waktu bersama. Setelah mendapatkan pakaian ganti untuknya, kami beranjak meninggalkan pantai. Dengan menaiki mobil, kami menelusuri jalan arah pulang dan berhenti di tempat-tempat yang penuh keramaian. Tak lupa pula berwisata kuliner.

Perlakuan Haqla padaku dan bagaimana tawaku saat bersamanya sempat membuatku lupa siapa kami. Sehingga semalam aku sulit tidur saat memikirkan kembali apa yang sudah ku lakukan sepanjang hari dengannya. Karena itu aku putuskan ke tempat Lingga untuk berbagi beban pikiran.

Hampir tengah malam aku dan Haqla sampai di rumah. Bunda tampak kesal walaupun mau mengalah untuk tak menceramahi ku lebih lama setelah Ayah berkata kemacetan berada diluar kendali kami. Dan bergantinya pakaian Haqla pun sempat dipertanyakan Bunda padaku sebelum aku masuk ke kamar.

Beruntung hanya pakaian Haqla saja. Kalau pakaianku pun ikut berganti, Bunda mungkin tak akan membiarkanku tidur sampai Bunda benar-benar merasa yakin kalau bajuku basah karena air laut. Sebab sejak masih di rumah aku bersikeras untuk tak membawa baju ganti karena tidak ingin bermain air.

Kepercayaan Bunda padaku memang sangat tipis. Bermula sejak aku ketahuan berpacaran, dan kemudian Bunda juga melihat ku hampir dicium mantan pacarku yang kedua di dalam mobil. Aku memang mengelak karena kami bertengkar saat itu. Tapi yang dipikirkan Bunda, aku menolak dicium karena menyadari keberadaannya.

Setelah itu Bunda lebih posesif setiap kali aku keluar bersama Jordy. Mengingatkan ku untuk menjaga diri dan lain sebagainya yang menjurus pada kontak fisik dengan lelaki. Tak pernah sekalipun Bunda lupa akan hal itu.

Dan menyadari aku mulai bersikap lunak dan sedikit perhatian pada Haqla, tanpa bertanya pun sepertinya Bunda tahu apa yang sedang ku pikirkan. Karena itu Bunda kembali meningkatkan level posesifnya untuk mengingatkanku agar tak melakukan hal yang akan disesali nantinya.

"Jadi begitu lah. Aku yakin aku belum cinta Haqla, Ngga." Aku mencoba menegaskan maksud ucapanku sebelumnya. "Bisa dibilang ini baru—"

"Penerimaan kan?" potong Lingga setelah sekian lama diam mendengar ceritaku. Dia berdehem karena suara yang keluar terdengar serak. "Kamu sudah menerima Haqla, Na. Dan itu bukan hal yang buruk kok."

"Aku pikir aku sudah menerima kenyataan kalau aku memang harus dan mungkin akan menepati janjiku padanya."

"Bukan cuma janji. Orangnya pun sudah kamu terima. Apa untungnya sih kamu menyangkal begini, Na? Menerima keberadaan Haqla dalam hidupmu adalah hal yang baik kan?"

Aku mengangkat bahu. Tak merasa sedang menyangkali apapun. "Mungkin. Tapi kesannya aku kayak menjilat ludah sendiri nggak sih? Aku bilang nggak mau memanfaatkan Haqla untuk meringankan beban Indra. Tapi sekarang aku merasa akan melakukannya."

Lingga mendesah. Entah bagian mana dari ucapanku yang membuatnya bereaksi seperti itu. Padahal apa yang ku katakan adalah kebenarannya.

"Ada beberapa hal yang aku tangkap dari cerita kamu sebelumnya, Na. Aku urutkan sesuai dengan yang kamu bilang. Pertama, kamu mempertimbangkan Haqla dan sekarang kamu sudah menerimanya kan? Tapi belum bilang ke siapapun kecuali aku. Aku orang pertama yang tau hal ini."

Aku mengangguk. Memang benar orang pertama dan satu-satunya yang tahu ini adalah Lingga. Orang yang bersangkutan saja masih menunggu jawabanku. Dan aku jelas belum punya keberanian untuk cerita pada orang tuaku.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang