Bagian 25

934 105 27
                                    

Aku masih menyeka hidung beberapa saat setelah pesawat lepas landas dan berada di ketinggian dengan tenang. Di sebelahku Haqla tak mengatakan apapun. Baik sekedar penghiburan semata atau memaksaku untuk diam dan tak membuatnya malu pun tidak dia lakukan.

Haqla hanya mengusap belakang kepalaku naik turun. Aku yakin rambutku pasti sudah berantakan karena tangannya. Sesekali dia akan memperhatikan bagaimana mengerikannya wajahku bersimbah air mata dengan ingus yang terus mendesak keluar.

Saat Bunda dan Lingga berlomba air mata ketika aku berpamitan tadi, aku masih bisa tersenyum haru. Ayah dengan segudang pesan menyentuh hati pun mampu ku balas dengan pelukan hangat. Sebelum berpisah di bandara tadi, Indiana juga menatapku dengan mata berkaca-kaca. Namun aku masih baik-baik saja.

Tapi nyatanya tangisan yang mungkin sudah ku tahan sejak meninggalkan rumah itu akhirnya pecah juga setelah kami berada di pesawat. Dengan pemikiran aku akan pergi jauh dan jarang pulang, hanya bisa berkabar dengan keluargaku melalui sambungan telepon sambil menahan rindu, dadaku terasa sesak. Air mataku mengalir turun dan produksi ingus pun menjadi meningkat drastis karenanya.

Tak ku pedulikan orang-orang sekitar yang mungkin akan menyadari atau terganggu karena ku. Aku hanya fokus pada tangisan yang sebisa mungkin aku usahakan agar tanpa suara. Nyatanya itu cukup lama berlangsung dan agak sulit untuk dihentikan.

"Aku sudah selesai."

Haqla menanggapi suara serakku dengan usapan pelan di tengkukku.

Aku menarik tisu dari atas paha Haqla lagi setelah memasukkan bekas ke dalam plastik yang ku letakkan dikantong kursi depanku. Beruntung karena kebiasaan membawa tisu saat berpergian tak membuat bajuku menjadi korban dalam drama tangisku.

"Dulu aku kekeh sekali pengen kuliah dan kerja jauh. Mau coba hidup mandiri agar nggak bergantung terus sama Ayah dan Bunda. Tapi lihat sekarang?" Baru saja berangkat tapi sudah mau pulang rasanya. Heran. Kenapa aku tidak bisa kuat seperti Indiana?

Sejak sore hingga malam kemarin, aku terus menempeli orang tuaku. Menolak saat disuruh tidur bahkan memaksa keduanya yang mengantuk untuk tetap menemaniku. Aku bahkan tak memperdulikan ejekan Indra. Tidak ada yang berhasil memaksaku untuk berhenti, bahkan Ayah pun tidak.

Kalau saja keberangkatanku dan Haqla tiba-tiba ditunda sehari, entah apa yang akan terjadi. Aku mungkin berubah pikiran karena tak rela meninggalkan Ayah dan Bunda.

"Maafkan aku."

Aku mengulum bibir mendengar permintaan maaf yang pasti hanya keluar dari mulut tapi tidak hatinya. Karena untuk apa juga Haqla meminta maaf atas apa yang bukan kesalahannya? Menikah dan ikut dengannya adalah keputusanku sendiri.

"Tapi aku tidak menyesal sudah membuat kamu seperti ini, Na. Kamu baru pertama kalinya berpisah dengan keluargamu. Jadi wajar kalau rasanya berat. Kamu akan baik-baik saja setelah beberapa hari. Nanti kamu akan terbiasa."

"Kamu dulu bagaimana? Apa yang kamu rasakan saat meninggalkan desa kita?" Aku tersentak dengan pertanyaanku sendiri. "Lupakan! Apa yang ku tanyakan sih?"

Padahal aku sudah dengar ceritanya langsung dari Haqla. Harusnya aku tahu bagaimana perasaannya ketika pergi saat itu dan tidak perlu membicarakannya lagi.

Tapi Haqla tetap menjawab. "Memikirkan nggak bisa bertemu temanku dan orang-orang yang bersikap baik padaku, aku merasa nggak rela, Na. Tapi karena ibuku tampak bahagia waktu itu, aku jadi sedikit antusias. Lalu setelahnya hanya ada penyesalan. Kamu tau alasannya."

Aku mengangguk lemah. "Maafkan aku. Harusnya aku nggak bertanya lagi soal itu."

Haqla menggeleng. "Tidak apa-apa. Mengingatnya lagi tak membuatku merasa sakit. Mungkin karena sekarang ada kamu di sisiku."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang