Bagian 31

521 84 11
                                    

"Kamu.... istri Haqla?"

Terkejut adalah reaksi pertama Bu Rita setelah aku mengatakan statusku sebagai istri Haqla. Itu hal yang wajar, tentu saja. Putranya yang dipikir sedang bekerja dan masih melajang itu, tiba-tiba sudah menikahi seorang perempuan. Ibu mana yang tidak kaget saat mendengarnya?

Setelah Haqla berangkat, aku pun bergegas mengganti pakaian. Kemudian meninggalkan hotel dengan menaiki taksi online agar sampai ke rumah Bu Rita. Tidak sulit untuk menemukannya karena nomor rumahnya terpampang jelas di dinding luar.

Perjalanan yang harus ku tempuh dari hotel ke rumah Bu Rita ternyata cukup jauh, sebab berbeda kota. Semoga aku lebih dulu kembali ke hotel daripada Haqla. Ku harap Haqla menghabiskan waktu yang lama untuk bicara dengan ayahnya.

"Iya, Bu. Saya istri Haqla. Kami sudah menikah."

Lalu ku ceritakan semuanya pada Bu Rita. Tentang kedatangan Haqla ke desa, ajakannya untuk menikah, kedekatan kami hingga kebohongannya tentang kondisi keluarganya. Aku tak mau Bu Rita berpikir kalau aku dan keluargaku tak menghargainya sebagai ibu Haqla sehingga menikah tanpa restu dan sepengetahuannya.

Bu Rita kemudian bersandar lemah ke sofa saat aku selesai memberitahunya tentang pernikahanku dan Haqla saat ini baik-baik saja. Semua yang ku ceritakan membuat Bu Rita kehilangan kata-kata. Beliau tampak bingung, namun kecewa juga bersarang di wajahnya.

Aku meraih gelas dari atas meja kemudian menghabiskan isinya dalam beberapa kali teguk. Tenggorokanku jadi kering karena terlalu banyak bicara.

Tak adanya tanggapan dari Bu Rita sebenarnya membuatku tidak bisa duduk dengan tenang. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang beliau pikirkan saat ini. Tentangku, putranya dan tentunya pernikahan kami.

"Tampaknya kebencian Haqla pada Ibu masih sama besarnya. Tidak berkurang sedikitpun," gumam Bu Rita akhirnya, dengan suara bergetar dan senyuman terlihat pedih.

Bu Rita mulai mengubah panggilan pada dirinya sendiri, dari 'saya' menjadi 'Ibu'. Hal itu membuatku bisa bernafas lega. Satu bebanku kembali terangkat.

Padahal semua berjalan sebaik ini. Hanya butuh beberapa saat untuk menjelaskan. Tapi entah kenapa Haqla ingin menunda pertemuanku dengan ibunya.

Sepanjang perjalanan tadi, aku sempat menduga-duga bagaimana reaksi Bu Rita atas kedatanganku. Dugaan paling buruk, beliau tidak mau menerimaku. Atau setidaknya Bu Rita yang ku temui sekarang tak pendiam seperti dulu sehingga akan sulit membuatnya mengerti keadaanku.

"Tapi Haqla cukup sering membicarakan tentang Ibu pada saya," ucapku sedikit berbohong. "Mungkin Haqla hanya butuh duduk berdua dan berbincang banyak dengan Ibu. Bicara dari hati ke hati tentang semuanya." Aku merujuk pada kehidupan Haqla pasca ditinggalkan Bu Rita pada keluarga mantan suaminya.

"Itu juga yang Ibu inginkan, Ina. Tapi jangankan bertemu, dia bahkan tidak mau mengangkat telepon Ibu. Kalau bukan karena kamu menerima panggilan Ibu dan datang kesini, entah kapan Ibu akan tau kalau dia sudah menikah."

"Saya minta maaf karena terlambat sadar kalau Haqla berbohong. Dan juga, saya tak langsung menghubungi Ibu saat tau kebenarannya."

Bu Rita menggeleng. "Itu kesalahan Haqla, bukan kamu. Mungkin kamu juga sama kecewanya atas sikap Haqla. Kesalahan Ibu padanya begitu banyak, Na. Karena itu dia mengecualikan Ibu dalam hidupnya."

"Tapi tetap saja Ibu dan Haqla butuh bicara. Apa Ibu mau saya menghubungi Haqla dan memintanya datang setelah dia kembali dari lapas nanti?"

"Dengan resiko kalian berdua akan bertengkar? Seperti yang kamu bilang tadi, kamu datang kesini tanpa sepengetahuan Haqla."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang