Bagian 6

898 163 20
                                    

Maaf lama nggak muncul 🙏 Aku sempat kehilangan ide waktu mau nulis lanjutannya...

Selamat baca 🤗

~~~

Nyatanya aku lah si tolol yang sudah menjanjikan pernikahan pada seorang bocah belasan tahun yang lalu. Dan bocah yang kini sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa itu datang menagihnya.

Haqla bersikeras agar aku menepati janjiku padanya sementara aku yang memiliki keyakinan penuh tak pernah menjanjikan apapun tentu saja menolak. Namun ketika Haqla berusaha menggali isi kepalaku dengan memperlihatkan bekas luka yang ada di bahunya, perlahan aku ingat apa yang terjadi saat itu.

Sore itu aku bertemu Haqla dijalan. Bocah itu baru pulang bekerja sementara aku dari rumah Lingga. Kami terlibat perbincangan hingga akhirnya aku tahu dia sedang terluka. Haqla terpeleset setelah berhasil melewati jembatan kecil di sawah sehingga mendapatkan luka di bahu kirinya.

Awalnya aku pikir itu hanya luka kecil yang bisa diobati seadanya. Karena itu aku membawanya ke rumah. Tapi setelah Ayah dan Bunda melihat sendiri luka Haqla dengan seksama, keduanya panik. Luka itu ternyata cukup lebar dan dalam. Masih ada sisa patahan ranting menancap di bahunya.

Ayah dan Bunda bergegas membawa Haqla ke puskesmas agar segera mendapatkan penanganan. Seingatku dia mendapat jahitan, tapi aku lupa berapa jumlahnya. Aku tak menyangka bekas lukanya masih terlihat jelas hingga sekarang.

Ingatanku tentu tak hanya seputar luka itu dan bagaimana penanganannya. Aku pun mulai ingat bagaimana ekspresi Haqla ketika kami bertemu sore itu. Aku juga ingat dengan apa yang sudah aku katakan padanya.

Janji itu hanya lah penghibur dan mungkin penyemangat semata dariku. Karena saat itu aku yakin Haqla tampak begitu terluka. Dan itu bukan hanya karena luka di bahunya saja melainkan perasaannya juga.

Setelah kejadian itu, aku sama sekali tak merasa terbebani atas ucapanku. Aku bahkan tak pernah menganggap apa yang aku katakan padanya benar-benar ada. Aku pikir Haqla pasti juga akan melupakannya. Dia hanya bocah awal belasan tahun dan tidak akan terpengaruh dengan hal yang belum dia pahami sepenuhnya.

Tapi aku salah. Bukan hanya tak melupakan janji itu, Haqla malah menanggapinya dengan serius. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana caranya meminta Haqla untuk melupakan janji itu disaat dia tampak bersikeras untuk menikahiku?

"Tanpa sadar aku sudah menimbulkan masalah ya?"

Aku tertawa paksa. Meski tampak konyol, aku tetap melakukannya untuk mengisi keheningan yang tercipta diantara kami. Aku tak berani menatap Haqla yang sudah kembali duduk di tempatnya semula.

Dinginnya malam, suasana sepi dan Haqla yang terlihat seperti debt collector membuat tubuhku menggigil.

"Dulu aku nggak punya pemikiran panjang sampai-sampai masalah ini timbul. Maafkan aku."

Haqla terlalu cepat menanggapi padahal aku masih sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk ku katakan. "Aku nggak pernah anggap janjimu sebagai masalah, Na," ucapnya.

Mungkin bagi Haqla ini bukan masalah, toh bukan dia yang berjanji. Bukan dia yang memiliki utang. Tapi bagiku hal ini jelas masalah besar. Kenapa dulu aku bisa sebodoh itu?

"Kamu pasti tau kalau janji itu aku katakan untuk menghibur kamu. Maksudku, dulu aku mungkin mengatakannya tanpa sadar. Tanpa berpikir panjang. Seharusnya kamu nggak perlu menganggapnya serius begini."

Ucapanku terdengar seperti sedang menyalahkan Haqla, aku sadar itu. Tapi aku tak bisa menahan lidahku untuk tidak mengatakan pendapatku.

Diri sendiri saja belum aku buat bahagia. Keluargaku pun belum aku buat bahagia. Bagaimana aku bisa melakukannya pada orang lain?

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang