Dari teras rumahnya, Lingga menatapku sambil senyum-senyum tak jelas. Ingin hati menyebut kegilaannya sedang kambuh, jelas tak bisa. Karena tanpa Lingga katakan pun, aku tahu apa isi kepalanya sekarang. Kalau bukan adanya martabak spesial yang aku bawa sesuai permintaannya, sudah pasti karena keberadaan Haqla.
Aku menarik rok agak keatas, memperlihatkan stoking berwarna kulit saat turun dari motor. Bagian bawah rok agak sempit sehingga akan mudah robek jika satu kakiku ada di tanah sementara yang lainnya masih diatas pijakan motor.
Seolah-olah di matanya aku tampak akan terjatuh, dengan sigap Haqla memegangi lengan kananku. Motor sedikit bergoyang, tapi tak jatuh karena kaki Haqla berperan sebagai penahan. Sebelum aku menarik tanganku menjauh, Haqla lebih dulu melepaskannya.
"Makasih. Nanti aku pulang dari sini jalan kaki saja." Aku meraih kantung plastik yang tergantung diantara kaki Haqla.
"Nggak bisa begitu, Na. Nanti aku antar kamu pulang."
Perkara pulang pun tak akan jadi topik perdebatan diantara kami bukan? "Aku nggak mau teriak-teriak panggil kamu nanti. Lagian dari rumahku ke sini nggak jauh."
Haqla melirik kearah Lingga yang entah sedang apa temanku itu sekarang karena aku memunggunginya. "Kalau begitu aku boleh gabung dengan kalian biar kamu nanti nggak perlu teriak-teriak panggil aku?"
"Nggak," tolakku cepat. "Pembicaraanku dan Lingga nanti nggak boleh didengar anak-anak."
Haqla menarik lenganku sehingga aku melangkah lebih dekat padanya. Hidungku kembali menangkap aroma parfum Haqla seperti yang tercium setiap kali aku bersamanya. Dan baru aku sadar kalau aku menyukai aroma itu karena tak terlalu menyengat dan terasa menenangkan layaknya aromaterapi.
"Kamu tau, Na? Bukan anak-anak lagi namanya kalau sudah tau cara bikin anak. Apa aku harus membuktikannya padamu kalau aku sudah dewasa? Kalau kamu mau, lebih baik kita masuk ke rumah sekarang."
Aku tak menanggapi ucapan Haqla. Walaupun maksud perkataannya itu mungkin tak sekotor pikiranku sekarang, tetap saja aku lebih suka menyudahinya. Tak ingin memperpanjang.
Haqla tak senang setiap kali aku menyebutnya bocah atau anak-anak. Mungkin dengan bicara seperti itu menjadi cara baginya untuk menunjukkan rasa tidak suka. Bisa saja dia ingin membuatku tak lagi mengatakan hal yang sama untuk kedepannya.
Aku mengeluarkan sekotak martabak dari plastik. Kemudian menjulurkan plastik bening yang masih berisi sekotak martabak lainnya pada Haqla. Karena dia tak kunjung menerimanya, aku menggantungnya kembali ke motorku.
"Kamu tau Indra kurang suka martabak kacang. Jadi kamu yang habiskan. Jangan sampai ada yang tersisa. Orang mubazir itu temannya setan."
"Jadi kamu sengaja membelikannya untukku, Na?"
Aku mendengus saat Haqla tersenyum lebar. Aku tak bisa menampik bahwa matanya tampak berbinar hanya karena hal sekecil itu. Aku juga tidak tahu kenapa hari ini bisa sedikit lunak pada Haqla.
Sejujurnya Haqla tampan sekali saat ekspresi wajahnya begitu. Kalau bukan karena aku sudah menganggapnya sebagai adikku dan andai usianya diatasku sedikit saja, mungkin aku sudah mengajaknya berkencan. Ku akui, aku sedikit lemah terhadap segala sesuatu yang menyenangkan mata.
"Dulu kamu suka martabak kacang. Aku ingat karena kita punya banyak selera makanan yang sama."
Senyum Haqla semakin melebar membuatku meremas kotak yang ada di tanganku. Dia tidak berpikir kalau aku mengajaknya bernostalgia kan?
"Jangan berpikir yang enggak-nggak dulu," ucapku cepat sebelum kepalanya mulai menyusun dugaan yang tidak-tidak. "Anggap ini sebagai ucapan terima kasih karena kamu bersedia antar makan siang untuk aku beberapa hari ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Billing My Promise
ChickLitTiga puluh tahun hidupnya terasa baik-baik saja meskipun Inayah Rubia sempat jatuh bangun dalam hubungan sosial dan percintaan. Tapi dengan hadirnya Haqla Fakhri Jahid, teman bermain adiknya sekaligus tetangganya yang dulu menghilang, kehidupan Inay...