Bagian 16

720 133 15
                                    

Tak disangka Haqla mengajakku jalan dengan menggunakan mobil Ayah. Padahal akan terasa lebih wajar jika dia meminjam mobil Indra. Meskipun Indra adikku, tapi dia tetap teman Haqla. Sedangkan ayahku adalah ayah dari gadis yang dia ajak keluar.

Tapi tampaknya untuk Haqla tidak berlaku pemikiran itu. Dia sudah terlanjur nyaman bersama orang tuaku yang memperlakukannya dengan sangat baik. Atau mungkin agar dia bisa melihat reaksi kedua orang tuaku tentang kepergian kami? Entahlah!

Jujur aku penasaran bagaimana proses pinjam meminjam antara keduanya berlangsung. Apa yang dikatakan Haqla sebagai alasan saat meminjam mobil? Dan bagaimana tanggapan Ayah setelah mendengarnya? Aku ingin bertanya tapi tak punya keberanian untuk mendengar jawaban.

Sejak awal Haqla sudah mengantongi restu dari Ayah, namun tak dia dapatkan dari Bunda. Walaupun terlihat agak keberatan saat melepas kepergian kami pagi tadi, Bunda juga tak melarang. Bunda hanya berpesan agar kami berhati-hati, menjaga diri dan jangan pulang terlalu malam.

Kata pantai keluar begitu saja dari bibirku setelah kemarin siang Haqla bertanya apa ada tempat yang ingin ku tuju. Sepertinya aku mulai bosan jalan-jalan di mal, makan atau nonton, apalagi hanya berkeliling sekitar.

Dan disinilah kami berada. Meski menempuh perjalanan agak lama, aku cukup puas setelah kami sampai di pantai.

"Sudah satu jam lebih kita cuma duduk-duduk disini, Na."

Perhatianku pada beberapa bocah yang tengah bermain air kini beralih pada Haqla. Lelaki itu duduk di sampingku, diatas karpet yang kami sewa. Aku sedikit bergeser karena baru sadar kalau kami terlalu dekat. Lenganku bahkan bersentuhan dengannya.

Apa yang kami lakukan setelah sampai di pantai? Tidak ada. Rencana apa yang ku miliki? Aku tak memikirkan apapun. Duduk berjemur di bawah sinar matahari yang lebih sering disembunyikan awan ketimbang terlihat, sambil memperhatikan laut dan orang-orang yang berlalu lalang sudah berhasil mengubah suasana hatiku.

Apalagi ditemani cemilan yang dibeli Haqla juga roti dan buah yang disiapkan Bunda sebagai bekal. Betah sudah diriku sehingga pantat ini tak ingin beranjak.

"Kamu nggak mau jalan-jalan kesana atau ikut main air seperti mereka, Na?" tunjuknya dengan dagu.

Dia pikir kesenanganku sama seperti para bocah itu? "Nggak. Aku betah duduk-duduk begini sambil lihat orang-orang."

"Tapi aku pikir kamu nggak menikmati ini, Na. Gimana kalau kita pindah tempat kencan?"

"Kata siapa?" Aku memegangi lengan Haqla, menariknya untuk kembali duduk. "Sejak menginjak usia remaja, aku nggak pernah main air lagi kalau ke pantai. Aku serius saat bilang betah walau cuma duduk-duduk begini."

Haqla mendesah kecewa. "Ternyata ekspektasi ku untuk hari ini terlalu tinggi."

"Memangnya apa yang kamu bayangkan?" tanyaku sedikit penasaran. Setelah dia tau aku ingin ke pantai, dia tidak menyiapkan list tentang apa saja yang bisa dilakukan di pantai bukan?

"Jalan-jalan di pinggir pantai sambil berpegangan tangan denganmu. Dan mungkin kita bisa bicara."

Bibirku melengkung. Aku menarik kedua kaki dan menekuknya hingga paha menyentuh perut dan dada. Ku letakkan dagu diatas lutut. Tatapanku menyoroti wajah tampan Haqla.

"Dan bagian mana yang jadi penyebab kamu kecewa? Nggak jadi jalan-jalan di pinggir pantai denganku? Nggak jadi bicara padahal kita tetap bisa melakukannya sambil duduk? Atau karena kamu nggak bisa pegang tangan aku?"

Raut kaget Haqla menarik tawaku keluar. Aku mengulurkan tangan kananku padanya. "Pegang saja kalau mau," ucapku bermaksud menggodanya lebih jauh.

Aku bisa melihat telinga Haqla kini memerah. Dia sudah kalah telak. Dia sering menggodaku tapi langsung kehilangan kata-kata ketika digoda balik. Kalau aku begini terus, bukannya dia yang berhasil mengambil hatiku tapi malah sebaliknya.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang