Bagian 28

482 89 8
                                    

"Kalau begitu Mbak di rumah yang benar kok. Tapi Haqla belum pulang, Mbak. Masih di jalan katanya. Beberapa menit lagi baru sampai."

Perempuan didepanku mengangguk. Melihatnya tampak lega membuatku bertanya-tanya. Siapa perempuan ini? Apakah salah satu dari teman Haqla? Anggota keluarga ayahnya kah? Apa mungkin kakak seayahnya?

Tapi untuk kemungkinan terakhir, sepertinya tidak. Jika memang dia adalah salah satu kakak Haqla, pasti suaranya saat menyebut nama Haqla tidak akan selembut ini. Karena seperti yang ku dengar, mereka membenci Haqla. Saat tidak menyukai seseorang, secara tak sadar kita akan menyebut namanya dengan ketus bukan?

"Apa boleh saya tunggu? Mumpung sudah sampai disini juga. Saya ada keperluan penting sama Haqla soalnya."

"Tentu boleh, Mbak. Mari Mbak sama Mas silakan masuk." Aku membuka pintu lebar, mempersilakan perempuan hamil itu dan lelaki dibelakangnya, yang tadi tak ku sadari keberadaannya untuk masuk. "Duduk dulu, Mbak. Saya ambilkan minum."

"Tidak perlu repot-repot," ucapnya yang ku balas dengan gelengan cepat.

"Sama sekali nggak repot, Mbak."

Setelahnya aku meninggalkan keduanya menuju dapur. Mengambil dua gelas minuman dan membawanya kembali ke ruang tamu.

Melihat gestur kedua orang ini, sepertinya mereka pasangan suami istri. Aku tersenyum tipis ketika tak sengaja melihat sang lelaki mengusap pelipis perempuan disampingnya itu.

"Silakan diminum, Mbak, Mas. Kuenya juga silakan di makan."

"Terima kasih," ujar si lelaki yang ku balas anggukan pelan.

"Kamu siapanya Haqla ya? Maaf. Sepertinya kita baru pertama kali bertemu kan ya?"

"Benar, Mbak. Ini baru pertemuan pertama kita. Saya Ina, istrinya Haqla," jawabku.

"Ooh...." Perempuan itu mengangguk-angguk. "Kalian menikah juga jadinya. Waktu Haqla dibilang lari dari tanggung jawab, saya rasanya nggak percaya. Meskipun nggak dekat, saya pikir Haqla bukan pria seperti itu. Terlepas nyatanya kalian sudah melakukan kesalahan."

Aku menatapnya tak mengerti.

"Saya sudah dengar sedikit tentang kalian kok. Nggak sengaja sih sebenarnya. Tapi melihat kamu sekarang...." Ucapannya terjeda karena lebih memperhatikanku dengan seksama, berlama-lama dibagian perut. "Ngomong-ngomong, kamu sudah melahirkan?"

"Maksudnya apa ya, Mbak?"

Aku benar-benar bingung dengan apa yang dia katakan. Haqla lari dari tanggung jawab? Kami melakukan kesalahan? Dia bertanya apa aku sudah melahirkan seolah-olah berpikir aku sudah hamil sebelumnya?

"Saya sama Haqla belum lama ini menikah, Mbak," lanjutku.

"Iya. Tapi yang saya dengar kamu hamil anak Haqla, bukan anak suamimu dulu. Saya nggak bermaksud mencela kamu atau gimana ya, Ina. Saya cuma dengar begitu."

Seperti katanya, tatapan matanya memang tidak terlihat sedang mencela ataupun merendahkanku. Meski ucapannya agak terdengar kurang menyenangkan di telingaku.

"Tapi saya memang belum hamil anak Haqla, Mbak."

"Eh?" Dia mengernyitkan keningnya, tampak berpikir keras. "Apa mungkin kebetulan ada dua orang bernama Haqla disekitar sini? Bisa saja alamat yang diberikan ke saya salah."

"Kalau itu saya kurang tau, Mbak. Tapi kalau suami saya, Haqla Fakhri Jahid namanya."

"Saya juga cari orang dengan nama itu. Sebelum menikah dengan Haqla, kamu bukannya istri dari temannya yang meninggal itu ya? Siapa ya namanya? Duh, saya lupa lagi. Padahal dulu pernah bertemu."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang