Prolog

1.5K 176 20
                                    

Langit tampak mendung, pertanda akan turun hujan. Udara dingin yang terasa menembus pakaiannya membuat Inayah menggigil. Bibirnya menggerutu karena tubuhnya kini berteriak membutuhkan rasa hangat. Inayah memang tak suka kedinginan. Jika saja dia tahu bahwa sore hari akan sedingin ini, dia tidak akan berlama-lama main di rumah Lingga.

Inayah meletakkan tangannya, bersilangan didepan dada. Kedua telapaknya bergerak pelan, mengusap lengannya yang ditutupi kardigan berwarna biru muda. Punggungnya sedikit membungkuk ketika berusaha mempercepat langkah kakinya.

Inayah menatap punggung seorang bocah yang berjalan pelan, tak jauh didepannya. Kepala anak itu menunduk, memperhatikan jalan yang akan dilaluinya. Seakan-akan tak memiliki keinginan untuk bergegas meskipun tanda-tanda hujan akan turun semakin terasa dan sudah pasti akan membasahi badannya.

Tapi bukan hal baru bagi Inayah melihat anak-anak bermain hujan. Bahkan remaja laki-laki pun masih ada yang melakukan itu hingga sekarang. Karena itu Inayah tak ingin menegur untuk mengingatkannya sehingga hanya melewati.

Namun hanya beberapa langkah saja, Inayah langsung berhenti. Karena Inayah baru saja menyadari siapa anak itu dan merasa perlu untuk mengingatkan. Dia segera berbalik.

"Kamu yakin nggak akan kena hujan sebelum sampai di rumah dengan jalan yang kayak siput begitu?"

Anak itu berhenti saat tersisa dua langkah lagi jaraknya dengan Inayah. Raut wajahnya tampak begitu sendu. Matanya pun berkaca-kaca. Dia tampak lelah. Pemandangan itu membangkitkan rasa bersalah di hati Inayah.

"Kakak bukan memarahi kamu, Haqla. Kakak cuma mau mengingatkan kamu. Bukannya Bu Rita yang mengomeli Kakak tapi malah Bu Ratih karena sudah bikin anak orang nangis."

Anak yang dipanggil Haqla itu mengusap matanya bergantian dengan punggung tangan kiri. "Ini bukan karena Kak Ina kok."

"Lalu kenapa? Ada yang jahatin kamu? Apa ada yang sakit?"

Haqla menggeleng. "Aku cuma lelah."

Inayah menatap wajah Haqla hingga tak mampu menahan diri dari rasa iba yang begitu besar. Di desa mereka, tidak ada yang tidak tahu bahwa bocah tiga belas tahun ini sudah bekerja untuk membantu ibunya. Mengumpulkan keong untuk dijual pada peternak itik hingga memancing belut di sawah.

Itu memang hal biasa yang dilakukan tetangga mereka untuk menambah biaya hidup. Tapi jelas sesuatu yang luar biasa karena yang melakukannya adalah anak-anak seumuran Haqla. Sudah tiga tahun Haqla mengisi waktu disela-sela sekolah dengan pekerjaan itu.

"Kamu tadi kerja lagi?"

Seharusnya tak perlu bertanya karena Inayah tahu jawabannya. Penampilan Haqla yang tampak lusuh dan juga kotor saat ini sudah menjawab pertanyaannya. Haqla hanya diam, tak menggeleng ataupun mengangguk.

"Ibumu bilang kamu sudah berhenti kerja dan fokus belajar."

Akhir pekan yang lalu Indra bahkan menyeret Haqla ke rumah mereka dan menghabiskan sepanjang hari disana. Inayah jelas mengingatnya karena dia juga ada di rumah.

"Tapi Ibu kembali nggak makan malam saat aku nggak kerja."

"Mungkin karena ibumu nggak lapar. Kakak yakin itu nggak ada kaitannya dengan kamu kerja atau nggak."

Haqla menggeleng lagi. "Ibu pasti kekurangan uang atau mencoba berhemat agar uangnya bisa ditabung. Jadi aku harus kerja lagi agar Ibu bisa makan terus uang Ibu bisa disimpan."

"Karena itu kamu jangan menolak untuk makan bersama Indra setiap hari. Jangan menolak bekal yang dia beri. Jangan menolak saat Indra mengantarkan makanan ke rumahmu. Dengan begitu, ibumu bisa makan malam dan kamu juga nggak perlu kerja."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang