Bagian 22

633 109 9
                                    

Lagi-lagi martabak hanya dijadikan Lingga sebagai alasan untuk memintaku menemuinya sepulang kerja. Nyatanya cemilan yang tentunya masih hangat itu dibiarkan begitu saja diatas meja. Bahkan kotaknya pun seakan tak diijinkan terbuka.

Saat menerima pesan dari Lingga siang tadi, aku pikir dia ingin mendesak ku untuk cerita tentang apa yang terjadi antara aku dengan istri Jordy kemarin. Mungkin saja sepulang kerja Ardi sudah memberitahunya tentang telepon dari Haqla. Karena itu Lingga ingin aku datang menemuinya segera.

Tapi nyatanya dugaanku salah.

"Hatiku bahagia banget deh lihat calon pengantin lagi bonceng-boncengan begitu," teriak Lingga saat aku dan Haqla baru sampai di halaman rumahnya.

Tentu saja Lingga akan lebih tertarik pada hubunganku dan Haqla dibanding hal yang tidak penting seperti kedatangan istrinya Jordy kemarin.

"Siapa yang kasih tau kamu?" tanyaku setelah Haqla beranjak pergi ke rumah sebelah. Tanpa diperjelas pun, Lingga pasti tau apa yang aku tanyakan padanya. "Bunda atau Tante Vera yang ternyata sudah nyebarin gosip sana sini?"

Karena sangat mengenali sikap dan tingkah Tante Vera, aku jadi sering berprasangka padanya. Lebih tepatnya prasangka buruk. Dan tampaknya itu sudah mendarah daging tanpa bisa ku kendalikan. Jadi tak heran jika ucapan yang tak patut dicontoh itu keluar dari mulutku.

"Bukan dua-duanya, Na. Tapi calon suamimu dong. Dan baru aku konfirmasi tadi sama bunda kamu."

Aku mengernyit. "Haqla yang bilang? Kapan?"

"Semalam," jawab Lingga dengan suara yang terdengar sangat antusias. "Waktu dia sama Indra balik, aku buru-buru keluar kan. Aku tanya apa yang terjadi sama kamu. Sambil senyum ganteng Haqla bilang, 'saya sama Ina akan menikah'."

Lingga tertawa kencang sambil memukul-mukul pahanya, membuat perut buncitnya tampak bergetar. Aku yang melihat itu jadi cemas sendiri, takut terjadi sesuatu pada kandungannya.

"Padahal maksudnya aku mau tanya apa yang terjadi sama kamu sampai-sampai istrinya Jordy temuin kamu, Na. Tapi dia malah jawab aku dengan kasih kabar yang bikin aku sama Ardi sempat melongo nggak percaya tau nggak?"

Lingga kembali tertawa sebelum melanjutkan. "Ah, dia lucu banget tau, Na. Calon suami siapa sih itu?"

"Kamu ini bukannya tidur," desisku kesal. "Setahuku, semalam mereka balik kesini agak kemalaman. Keasyikan ngobrol bertiga sama Ayah. Kandunganmu itu loh, Ngga. Jangan dibiasakan begadang bisa?"

"Aku sudah mau tidur itu, Na. Cuma agak sulit dikit. Waktu dengar suara motor, aku suruh Ardi lebih dulu keluar biar tahan mereka, biar nggak keburu masuk rumah. Aku kan penasaran sama apa yang terjadi antara kamu dan istrinya Jordy. Ya, meskipun ujung-ujungnya aku malah dapat kabar bahagia sih. Jadi bener nih kamu akan nikah sama Haqla?"

Aku mengangkat bahu. "Tergantung. Kalau dia nggak datang pas hari h ya sudah pasti aku batal nikah."

Lingga meninju lenganku. Dia tidak gemas melainkan kesal. "Aku nanyanya serius loh."

"Aku juga jawabnya serius itu. Nggak bercanda." Aku mengusap lenganku. Pukulan Lingga agak keras dan menyakitkan juga ternyata. "Kalau Haqla datang, ya kami bener jadi nikah. Kalau nggak, berarti batal."

"Yang aku tanya itu kamunya loh, Na. Kamu sudah yakin kan mau nikah sama Haqla?"

Lagi, aku mengangkat bahu. "Sudah terlanjur janji sama terima Haqla juga. Restu keluarga juga sudah dapat. Walaupun masih bisa dibatalkan sekarang, kayaknya nggak dulu deh." Selain tidak mau membuat malu keluarga, yang akan aku hadapi nanti berwajah seram semua kalau sedang marah. Jadi untuk sekarang aku tidak akan membatalkan apapun.

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang