Bagian 24

544 99 8
                                    

"Na, bundamu mana?"

Segera aku menurunkan kaki menyentuh lantai. Keasyikan dengan ponsel membuatku lupa kalau aku sedang duduk dengan kaki terangkat di kursi meja makan, bukannya sendirian didalam kamar.

Aku meringis malu setelah menyadari Tante Vera geleng-geleng kepala melihat tingkahku. Sudah terlanjur, mau bagaimana lagi?

"Perasaan Bunda tadi masih ada disini deh, Tante. Lagi bungkus-bungkus makanan. Kok tiba-tiba nggak ada ya?" kataku menjawab pertanyaan Tante Vera semula.

Dari semua tetangga yang datang untuk membantu, hanya beberapa diantara mereka yang membawa makanan sebelum pulang. Padahal Bunda sudah mengingatkan mereka sebelumnya karena lauk masih tersisa banyak. Karena itu Bunda mengemasnya ke dalam plastik agar bisa segera dibagikan.

"Tante cariin didepan juga nggak ada. Kemana ya bundamu itu? Lagi kepepet begini bisa-bisanya nggak kelihatan."

"Bentar lagi juga balik kesini. Makanan yang mau diantar juga masih disini, Tante."

"Iya. Memang tadi kata bundamu itu dia butuh bantuan untuk antar ini."

"Mungkin Bunda ke wc-"

"Kenapa harus Indra yang antar?"

Suara Indra yang terdengar agak keras dari arah ruang keluarga menghentikan ucapanku. Hanya dalam beberapa detik saja, dia bersama Bunda dan juga Indiana terlihat. Ketiganya mendekat kearah meja.

"Kamu sama Indi berdua. Bunda sama Tante Vera juga ikut jalan, biar cepat selesainya. Cuma ke tetangga yang dekat sini, nggak jauh-jauh," jawab Bunda dengan tenang.

"Kan sudah bertiga itu."

"Abang yang bawa, biar aku nanti yang kasih ke tetangga," sela Indiana. "Aku nggak kuat bawa banyak sekaligus. Agak lama juga kalau bolak-balik, keburu maghrib. Abang mau makan lauk ini selama seminggu ke depan? Itu kalau habis ya. Kalau belum, Bunda pasti nggak akan buatin lauk yang baru buat Abang."

Mendengar itu Indra meringis. Aku tau penolakan apa yang akan dia katakan. "Ya bosan dong." Dia memang jarang sekali mau makan lauk yang sama dua hari berturut-turut. Karena itu Bunda masak untuk habis sehari, besoknya langsung ganti menu.

"Karena itu, cepat kamu antar makanannya. Mereka sudah bantu kita dari pagi, mungkin belum sempat masak makan malam untuk keluarganya," ucap Bunda sambil menunjuk beberapa kantong plastik yang ada di meja.

"Iya-iya." Meski terlihat ogah-ogahan, tangan Indra tetap bergerak mengambil dua kantong plastik merah dari atas meja.

"Yang ini kamu yang bawa, Ndi." Indiana langsung mengambil alih kantong plastik yang disodorkan bunda.

Saat Indra menatap ke arahku dengan ekspresi kesalnya, aku hanya menyeringai sebagai tanggapan. Tentu saja dia tidak bisa memintaku untuk menggantikannya. Berhubung aku masih menganggap diriku sebagai ratu sehari, bebas dari segala pekerjaan yang ada. Meski hajatan sudah selesai dan aku tak lagi duduk di pelaminan, tapi hari ini masih belum berakhir.

Bukannya menyusul kedua adikku itu yang sudah pergi, Tante Vera malah bertanya. "Kenapa kamu masih disini sendirian? Sana kamu ke depan, temani Jahid ngobrol sama keluarga."

Jujur saja, seharian ini Tante Vera bersikap agak lebih baik padaku dibanding sebelumnya. Mungkin karena beban mental akibat kecipratan pertanyaan tentang kenapa aku belum menikah juga kini sudah terangkat dari pundaknya. Dan aku berharap Tante Vera tak kembali bersikap seperti sebelumnya, setidaknya padaku saja.

"Haqla nggak butuh ditemani, Tante. Dia tau kok cara mengakrabkan diri dengan keluarga barunya," jawabku meniru ketenangan Bunda tadi.

"Putrimu ini cuek sekali, Mbak. Padahal sudah jadi seorang istri."

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang