Bagian 33

1.3K 111 22
                                    

Sekarang rasanya tak sesakit saat pertama kali. Aku hanya sedikit merasa canggung dan gugup, tak malu seperti sebelumnya. Dan Haqla pun melakukannya, maksudku menyentuhku hingga akhir kali ini.

Pergumulan yang sering disebut sebagai surga dunia itu pun akhirnya bisa ku rasakan kenikmatannya.

Benih Haqla sudah ada di tubuhku sekarang. Dalam hati aku berdoa dengan sungguh-sungguh semoga bisa jadi. Aku ingin punya anak. Dan Haqla tampaknya tidak masalah dengan itu.

Haqla hanya menggeleng saat ku ingatkan untuk menggunakan pengaman sebelum kami menyatu tadi. Entah karena dia tidak menyimpan kondom atau menolak untuk berhenti sejenak, aku tidak tau. Tapi setidaknya dengan mengeluarkannya didalam, Haqla menyadari apa yang akan terjadi.

Aku tau kalau seharusnya tak seperti ini kejadiannya. Setelah sampai di hotel kami harus bicara. Haqla mungkin akan menanyaiku banyak hal seperti aku tau alamat ibunya dari mana. Kenapa bisa sampai disana dan apa yang ku bicarakan dengan ibunya.

Tapi nyatanya tidak. Sedikitpun belum ada pembicaraan tentang itu. Haqla yang tadi memintaku diam sejak kami di mobil, tiba-tiba menyerangku setelah sampai didalam kamar.

Bukan penyerangan dalam tanda kutip kekerasan, bukan itu. Tapi penyerangan dengan bibirnya yang berujung mengantarkan kami berakhir diatas tempat tidur.

Aku menikmati percintaan kami, sungguh. Sekarang aku tau kenapa Lingga begitu sumringah saat berkata hubungannya dengan Ardi sangat panas. Sebab rasanya memang semenyenangkan itu. Aku bahkan tersenyum saat mendapatkan pelepasan.

Tapi tampaknya itu tidak cukup berlaku pada Haqla. Aku tau dia sudah memaksakan diri agar bisa memiliki diriku seutuhnya. Mungkin dia memiliki ketakutan tersendiri sehingga ingin memastikan aku tetap menjadi miliknya.

Haqla masih membenamkan wajahnya di leherku, dengan badan yang sudah berhenti gemetar. Rasanya lembab sekali disana. Keringatku pasti sudah bercampur dengan keringatnya. Dan mungkin air matanya pun ikut bergabung.

Beberapa menit setelahnya, Haqla menarik kepalanya menjauh. Rasa berat karena tindihannya diatas tubuhku sedikit berkurang, membuatku bisa bernafas lega.

Matanya yang memerah itu pun menatapku. Lekat, dalam dan kemudian aku tak bisa melihatnya lagi karena dia menciumku. Pelan dan lembut, tak seperti tadi yang kasar dan seakan sedang dikejar waktu.

"Peluk aku, Na," bisiknya sebelum kembali menyatukan bibir kami.

Tanganku tak pernah beranjak dari kedua sisi badan sejak Haqla menjatuhkan ku ke kasur. Keinginan untuk menyentuh dadanya pun aku tahan sekuat mungkin. Yang bisa ku lakukan hanya meremas seprai sampai keempat sudutnya sudah tertarik.

Aku pikir kegagalan kami sebelumnya terjadi karena tanganku menyentuh badan Haqla. Mungkin sentuhanku mengingatkannya pada saat mengalami pelecehan dulu sehingga dia kaget dan berhenti begitu saja.

Haqla melepaskan tautan bibir kami sebelum berguling ke sisi kanan ranjang. Dia membawa tangan kiriku melingkari pinggangnya sementara yang kanan menekan dada.

"Apa kamu sejijik itu padaku, Na? Sampai-sampai nggak mau menyentuhku?" tanyanya yang membuatku menggeleng cepat.

"Kalau aku jijik padamu, desahanku nggak akan sekeras tadi. Aku sudah menolakmu sebelum ditelanjangi." Aku mengusap dadanya pelan, membuatnya memejamkan mata sejenak. "Aku mau kamu merasa nyaman, Haqla. Dan aku pikir kalau aku menyentuhmu, kamu akan menarik diri lagi dariku."

"Nggak, Na. Aku suka kamu menyentuhku."

Aku meremas otot dadanya. "Seperti ini?"

Dia terkekeh geli. Hanya sebentar sebelum tatapannya berubah sendu. "Sebanyak apa yang kamu dengar dari Ibu?"

Billing My PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang