9

2K 292 21
                                    

Pantat Clarice terasa kebas karena ia duduk terlalu lama. Telinganya panas. Ditambah hatinya campur aduk antara marah, sedih, dan menyesal.

"Kamu tidak bisa dipercaya! Uang itu harusnya untuk kebutuhan kita bukan untuk jalan-jalan!"

Ingin sekali Clarice berteriak jika ia tidak jalan-jalan. Ia hanya mengambil hak miliknya di rumah Rolan. Toh barang berharganya nantinya bisa dijual untuk kebutuhan mereka juga. Ia tidak tahu jika ia tidak akan mendapat apapun dari sana.

"Sekali lagi kamu tidak berpikir panjang sebelum menghabiskan uang, aku tidak akan memberikan uang lagi padamu!" ancam Mahesa. Selalu saja seperti itu. Pria itu hanya bisa mengancamnya.

Rencana Clarice yang berniat melarikan diri dan memulai hidup baru itu gagal total. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Mahesa dan ya, seperti yang diduganya, pria itu tidak melepaskannya dan membawanya kembali pulang. Ia tidak berani melawan karena Mahesa terlihat sangat marah besar. Di sepanjang perjalanan pun pria itu hanya diam. Lebih baik ia dimarahi seperti biasanya.

Tapi setelah sampai rumah, ternyata keduanya tidak sama-sama lebih baik. Mahesa tetap menyebalkan.

"Kamu dengar?! Kalau aku lagi bicara, dengarkan! Jangan malah melamun!" bentak Mahesa membuat Clarice tersadar.

Lama-lama Mahesa sudah seperti orang tua. Terlalu banyak bicara. "Iya denger kok."

"Berdiri!"

"Kenapa sih kamu bisanya cuma marahin aku? Kamu tau, aku tuh lagi sedih. Semua barang hasil kerja kerasku disumbangin sama Pak Rolan. Sekarang aku hidup miskin! Gak punya apa-apa. Kenapa kamu malah marah-marah?"

Clarice mulai menangis dengan keras. Tidak peduli harga dirinya jatuh di hadapan pria yang menginginkannya menderita tas perbuatannya yang sudah membunuh ibu suaminya dan sudah membuat wanita yang dicintai pria itu menderita.

Akan tetapi Clarice tidak bisa menahan air mata yang sudah sedari tadi menyeruak. Tidak bisa menahan rasa frustasi akibat kenyataan bahwa dirinya sudah menjadi gelandangan dan hanya bisa berharap belas kasihan Mahesa.

"Berhentilah menangis. Percuma air matamu itu tidak mengubah apapun."

Dengan kasar Clarice menghapus air mata di wajahnya dengan punggung tangannya. Berusaha menghentikan laju air matanya. Ia menghentakkan kakinya kesal. Mahesa tidak mempunyai perasaan! Bahkan pria itu tidak mau repot-repot menenangkannya seperti yang biasa dilakukan pria itu kepada Jasmine.

Clarice berlalu menuju kamar. Lalu mengganti celana jeans nya yang sudah terasa tidak nyaman dengan salah satu celana rumah milik Mahesa. Kemudian kembali keluar untuk mengambil minum.

"Aku sudah izin pulang cepat. Sekarang aku akan mengajarimu memasak." Clarice menoleh ke arah Mahesa.

"Masak?" ulang Clarice. Yang benar saja! Apa pria itu tidak menyadari kalau dirinya kini tengah sedih?

"Kamu harus bisa masak. Kita tidak memiliki pembantu."

Sekesal atau sebenci apapun Clarice terhadap Mahesa, ia tetap saja menuruti perkataan pria itu. Terbukti kini dirinya membuntuti Mahesa ke dekat kompor. Pria itu menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak, sementara dirinya diam memperhatikan.

"Cuci sayur ini."

Usai mencuci sayur, Clarice memotongnya hati-hati karena takut jarinya terkena pisau. Meski ukurannya tidak sama, tapi tak apa ia masih belajar. Kemudian memecahkan telur dengan serpihan cangkang yang jatuh bersamaan.

Terdengar dengusan Mahesa di belakangnya. Pria itu tanpa berucap mengambil mangkuk telur Clarice dan membuang serpihan cangkang menggunakan garpu.

Mahesa menyalakan kompor dilanjutkan menuangkan minyak pada wajan. "Gunakan api sedang. Kalau menggoreng telur, oakai minyak sedikit. Kalau menggoreng ikan atau ayam, baru memakai minyak banyak."

Love from C to M [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang