FLASHBACK VII

1.9K 296 155
                                    

"Benar. Kamu hanya seorang wanita jahat yang sialnya harus aku nikahi karena balas budi. Dan kalau kamu hamil juga..."

Benak Mahesa bertanya-tanya. Apa maksud Clarice yang tiba-tiba menyinggung kehamilan?

"Aku harap tidak."

Salah. Mahesa sangat menyadari ucapannya adalah kesalahan yang besar. Jelas ia akan amat sangat senang jika Clarice mengandung buah hatinya. Tetapi di situasi yang terjadi di antara mereka sekarang ini ialah bukan waktu yang tepat untuk wanita itu hamil. Mereka harus menyelesaikan semua permasalahan mereka terlebih dahulu sampai mereka berdamai satu sama lain.

"Gue juga gak mau hamil, apalagi punya anak dari lo!" ucap Clarice penuh emosi. Ucapan yang berhasil membuat Mahesa tidak dalah menahan amarah yang dibendungnya.

Bugh!

Mahesa melayangkan pukulannya ke dinding yang berada di belakang tubuh Clarice dengan keras. Menatapnya seakan ingin membunuh wanita itu. Apa yang wanita itu katakan? Tidak ingin memiliki anak darinya?

Jantung Mahesa seakan diremas kuat. Efek perkataan Clarice begitu menyakitkan. Menusuk hatinya hingga paling dalam. Ia akui dirinya lebih jahat, tapi bukan berarti wanita itu membalas ucapannya dengan kalimat seperti itu.

"Apa? Pukul gue kalau lo mau."

"Jangan pernah memancingku untuk melakukannya." Mahesa menggeram tanpa melepaskan pandangan dari Clarice yang menatapnya tanpa rasa takut.

Suara dering ponsel milik Mahesa memecahkan ketegangan di antara mereka. Ia merogoh saku celananya. Hampir saja ia menolak panggilan itu, tapi setelah melihat nama yang tertera pada ponselnya, ia mengurungkan niatnya.

Giselle tidak mungkin menghubunginya jika tidak ada hal yang penting. Tapi jika itu menyangkut dengan uang, ia akan memarahi sepupunya itu sebab telah menganggu urusannya.

Mahesa berjalan menjauh dari Clarice. Ia memilih ke dapur agar wanita itu tidak mendengar perbincangannya dengan Giselle.

"Ada apa?" tanya Mahesa tanpa basa-basi.

Suara tangisan menyambut indera pendengarannya untuk pertama kali. Giselle tidak pernah menangis. Wanita itu terlalu angkuh untuk mengeluarkan setetes air mata.

"Mark, Uncle Jeff..." sepupunya itu bahkan sampai memanggilnya dengan namanya yang lain.

"Ada apa dengan pria tua itu?" tanpa sadar Mahesa telah mengkhawatirkan Jeff.

"Uncle kecelakaan. Kau harus cepat pulang! Mommy terus saja menangis karena Uncle belum sadar! Daddy masih berada di Frankfurt. Aku kalut!"

"Aku akan kesana sekarang."

Usai mematikan sambungan telepon dengan Giselle, Mahesa cepat-cepat menghubungi Arthur dan menyuruhnya untuk menyiapkan penerbangan pribadi. Ia kembali ke kamar dan mengambil beberapa potong pakaian yang di dalamnya terdapat dokumen-dokumen penting pekerjaannya yang disembunyikan dari Clarice lalu memasukkannya ke dalam koper.

Mahesa berdiri tegak dan menatap ke arah Clarice lama. Ia pasti merindukan istrinya untuk beberapa hari ke depan.

"Kali ini aku akan melepaskan kesalahanmu. Saat aku pulang, aku harap kamu sudah tenang."

Mahesa berharap saat ia pulang nanti Clarice melupakan ucapan-ucapan jahat yang diluapkan oleh wanita itu pada hari ini. Anggap saja kepergiannya berarti memberikan wanita itu untuk memenangkan diri.

"Aku pergi. Ah ya, satu pesan lagi, jangan pernah menghubungi ataupun dekat lagi dengan Arsen." ucap Mahesa. Ia menundukkan kepalanya dan mencium sekilas bibir Clarice yang selalu mengundangnya. Ia tidak bisa menyesap bibir itu terlalu lama, karena itu akan menyurutkan keinginannya untuk pergi. Padahal ia harus memastikan sendiri keadaan Jeff.

Love from C to M [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang