PROLOG III

2.5K 302 18
                                    

Clarice memelankan laju mobilnya yang sebentar lagi sampai ke rumahnya. Tidak tahu kenapa Clarice rasanya ingin pulang. Sedari tadi dadanya pun terasa sesak. Ia pun menolak tawaran Shania yang terus-terusan yang memaksanya untuk tinggal lebih lama di rumahnya.

Kenapa banyak sekali masuk ke arah rumahnya? Karangan bunga dan orang-orang berpakaian serba hitam?

Deg! Siapa yang meninggal?

Clarice keluar dari mobil yang diparkirkannya di garasi. Berjalan dengan cepat menuju ke dalam rumah melewati pintu penghubung. Tidak peduli dengan sakit kepala yang masih menderanya dan perasaannya yang sedari tadi tidak tenang.

Sosok pertama yang dilihat oleh Clarice adalah Vero dengan wajahnya yang memerah. Jantungnya semakin berdetak cepat tidak karuan.

"Ada apa?" tanya Clarice kepada Vero yang menatapnya tajam.

"Lo kemana aja? Semua orang cariin lo!" bentak Vero.

Tubuh Clarice menegang. Mengabaikan bentakan Vero, Clarice berlari ke arah ruang Tengah. Ia melihat Chita mengenakan pakaian berwarna hitam. Sesekali tangannya mengusap air matanya yang mengalir.

Dimana Rolan? Dalam hatinya Clarice merapalkan doa semoga saja bukan Rolan.

Clarice tersenyum lega ketika mendapati sebuah pigura berisikan potret Tyas. Itu berarti bukan Rolan yang meninggal.

Tapi tak lama, wajahnya memucat. Tyas? Kenapa? Pandangan Clarice bersibobok dengan laki-laki yang duduk bersebrangan dengannya. Matanya sembab, namun tajam.

Mahesa bangkit dari tempat duduknya. Mengitari peti mati Tyas lalu menarik Clarice dengan kasar. Tidak peduli dengan bisik-bisik dan tatapan orang.

Clarice hanya mengikuti tarikan atau lebih tepatnya seretan laki-laki itu ke garasi. Mahesa mendorongnya ke arah mobilnya dengan keras. Bahkan karena terlalu keras, kaki dan pinggang Clarice menabrak bumper mobil.

"Apa-apaan lo?! Sakit!" ringis Clarice mengusap area pinggangnya yang sakit.

"Kamu senang Ibu meninggal?" walau suaranya rendah tapi Clarice bisa menangkap Mahesa tengah marah besar kepadanya.

"I-itu, bukan. Gue gak bermaksud kayak gitu. Gue pikir—"

"Kamu pikir keluargamu yang meninggal? Setelah mengetahui bahwa Ibu yang meninggal, kamu lega?!"

Clarice ingin sekali mengelak tapi tuduhan Mahesa memang benar.

"Maaf," baru kali ini Clarice meminta maaf kepada orang lain kecuali orang tuanya. Tetapi memang Clarice salah. tidak seharusnya ia menampakkan wajah kelegaannya dan penuh syukur di hadapan seseorang yang tengah berduka.

Mahesa benar-benar marah besar. Laki-laki itu mengepalkan kedua tangannya. Clarice tahu, Mahesa pasti ingin memukulnya.

"Gara-gara aku sibuk mencarimu semalaman hingga pagi menjelang sampai aku tidak mencari Ibu yang keluar sendirian!" bentak Mahesa. Ia memukul kap mobil Clarice sebagai pelampiasan kekesalannya. Sontak Clarice menutup matanya sebab begitu terkejut.

"Kalau saja kamu tidak pergi tadi malam, aku pasti—" suara Mahesa terhenti. Clarice membuka matanya perlahan. Matanya bertatapan dengan wajah Mahesa yang memucat.

"Ini darah siapa? Kamu habis menabrak siapa?"

Clarice menoleh ke arah mobil bagian depannya. Bumper mobilnya yang sedikit penyok dan bisa Clarice lihat ada bekas darah yang mengental dan terlihat masih basah.

Perasaan Clarice semakin tidak karuan. Ia memastikan dirinya sendiri bahwa semalam ia hanya menabrak sebuah trotoar. Lagipula jika ia menabrak seseorang tentu darah itu sudah mengering.

Love from C to M [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang