"Nama tokoh, tempat kejadian, konflik ataupun cerita adalah fiktif. Jika terjadi kesamaan itu adalah kebetulan semata, tidak ada unsur kesengajaan."
©Story of 'Lintas Rasa' by @IraKarrella
.
.
.
.Terkadang terlalu berekspektasi tinggi pada suatu hal hingga melupakan realita yang mungkin bisa terjadi, sungguh hanya akan membuat patah di kemudian hari.
-Lintas Rasa by IraKarrella
———————————
Happy Reading❄️***
Setelah melaksanakan shalat dhuha, Syra langsung saja ke salah satu asrama untuk melihat-lihat proses pembelajaran para santri.
Di sana, ia melihat banyaknya tumpukan kitab dan mushaf Al-Quran yang tersusun rapi di rak yang disediakan. Matanya menatap meja-meja juga kursi yang beberapa masih kosong.
Iseng, dia pun mendekati salah seorang santriwati yang terduduk sendiri dengan tatapan keluar jendela.
"Hai. Assalamualaikum," sapa Syra, santriwati itu tidak bergerak barang sedikitpun. Syra mengerutkan dahi. Beberapa saat ia menghela dan memutuskan untuk ikut duduk.
"Maaf, boleh kenalan?" tanya Syra. Namun, lagi dan lagi masih tidak ada jawaban.
"Baru ya di sini?" Lagi, Syra bertanya. Belum ada jawaban di menit pertama, hingga terdengar suara helaan berat.
"Bukan urusan kamu," jawab wanita itu dengan nada dingin.
"Maaf, ta-" ucapan Syra terpotong.
"Sebelumnya maaf kalau terkesan kasar, aku sama sekali gak butuh perhatian dari siapa pun termasuk kamu, jadi jangan sok peduli," selanya, tentu dengan tatapan yang tak beralih dari luar jendela.
Dahi Syra mengerut. Apa yang dia lakukan salah hingga membuat santriwati di sampingnya itu terkesan marah?
Beberapa saat tak berani menjawab, Syra menghela dan mencoba menyesuaikan diri. Ini seperti tantangan untuknya; mendekati seseorang yang tidak ingin didekati.
"Iya, mungkin aku gak ada hak untuk masuk terlalu dalam hidup kamu. Tapi, gak masalah jika ingin berteman, kan?" sahutnya. Santriwati yang tadinya masih fokus keluar jendela menatap Syra dalam.
Syra balas menatapnya lalu tersenyum. "Nama kamu siapa?"
Meski terlihat ragu dan bahkan sempat memberi tatapan aneh pada Syra. Namun, detik setelahnya mulutnya terbuka bersiap menjawab, "Hilya."
"Salam kenal ya, Hilya. Senang akhirnya kamu jawab pertanyaan aku."
Hilya mengangguk. "Kamu? Namanya siapa?"
"Ah iya. Panggil aja Syra."
"Nama yang bagus," pujinya. Syra terkekeh, memang banyak yang mengatakan itu. Ternyata sang umi memang pintar memilih nama.
"Makasih, nama kamu juga bagus. Hemm kembali ke pertanyaan tadi, Hilya santri baru ya?"
Hilya mengangguk-anggukan kepala, ia menghela ringan dan memainkan jari absrak.
"Iya, orang tua aku ngirim ke sini. Sebenarnya udah dari tahun lalu mereka mau aku masuk pesantren, tapi aku terus nolak. Ya, karena memang gak ada niat mondok sama sekali," cerita Hilya. Syra mengangguk paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Selesai)
SpiritualKita terjebak dalam zona waktu yang salah. Ketika aku menginginkanmu, kamu justru menginginkan dia, seakan kita adalah dua orang yang sama-sama egois perihal rasa. Hingga, aku memilih mengalah dengan mengubur dalam-dalam dan membiarkan rasa itu mati...