Happy Reading❄️
***
<Flashback on>
Hilya memandang kosong pada tiap-tiap jalan yang dia lewati setelah percakapannya dengan Haikal.
Hatinya sudah berusaha untuk tetap baik-baik saja. Namun, seketika ia pun ingin egois dan merasa berhak untuk bahagia juga.
Jika boleh jujur, Hilya tidak ingin menyerah pada cintanya. Namun, nasihat Syra selalu jadi alasan untuk tetap teguh pada pendiriannya untuk ikhlas.
Kini, saat tahu Syra adalah seseorang yang menjadi tujuan akhir dari cinta pertamanya. Bagaimana Hilya bisa berpikir untuk menerima kenyataan?
Ia tidak menyalahkan Syra. Karena, ia memang tidak pernah menyebutkan nama cinta pertamanya yang notabenenya adalah Haikal. Namun, haruskah takdir sejahat ini?
Hilya pun sangat sadar jika ini adalah salahnya. Salahnya yang menaruh harapan terlalu besar pada hati yang tidak menginginkannya, hingga dengan terpaksa mendapat kenyataan pahit dalam hidupnya.
Kenyataan yang membuatnya membenci takdir yang dia jalani saat ini.
"Kenapa sesakit ini?"
Hilya tertawa hambar. Saat sampai di pagar pempatas jalan, ia memandang penuh luka pada aliran air di bawah sana.
Ia lalu memejamkan mata, kemudian memberanikan diri memegang pagar itu dan meremasnya. Ia sangat tahu ini salah. Namun, hatinya terlalu kacau untuk saat ini.
"Jangan melakukan hal yang salah hanya karena cinta. Ingat kalimatnya."
Suara itu membuat Hilya mengurungkan niatnya, ia langsung menoleh ke belakang. Netranya membulat saat melihat siapa yang tengah berdiri dengan tatapan elang di sana.
"K-Kamu?"
"Mau apa, hm?"
Itu adalah Aidil. Ya, Abang dari Syra.
Terlihat, pria itu kemudian menghampirinya dan berdiri tepat di sampingnya. Ia ikut menatap aliran air di bawah sana.
"Mengakhiri hidup gak menjamin kamu akan bahagia, Hilya. Kenapa berpikir sampai sependek ini?" jeda sekian detik. "Apa kamu gak memikirkan bagaimana perasaan kedua orang tua kamu, terutama Ibu kamu? Susah payah dia melahirkan, dan kamu berniat mengakhiri semua cuma karena takdir yang kamu kira buruk..."
Aidil tersenyum miring. "Pemikiran itu terlalu pendek. Kamu paham maksud saya, kan?" lanjutnya lalu beralih menatap penuh pada Hilya.
Namun, Hilya tidak menjawab, ia justru menelan ludah susah payah. Aidil adalah gusnya. Pria yang juga ikut mengajarkannya di pesantren. Selama ini, pria itu tidak pernah mengeluarkan pendapat atau bahkan terlihat ingin mengusik hidupnya, Aidil hanya fokus pada tujuannya sendiri.
Pria itu sangat tegas. Bahkan, ketika mengajarpun, ia dikenal sebagai guru yang memiliki sifat dingin dan cuek akan sekitar, tentu sekitar yang dimaksud adalah hal yang bukan urusannya.
Kini, saat melihat pria itu menasihatinya seperti tadi sungguh cukup mengejutkan bagi Hilya. Namun, ia pun berpikir, ini pasti Aidil lakukan hanya karena Syra dan alasan kemanusiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Selesai)
SpiritualKita terjebak dalam zona waktu yang salah. Ketika aku menginginkanmu, kamu justru menginginkan dia, seakan kita adalah dua orang yang sama-sama egois perihal rasa. Hingga, aku memilih mengalah dengan mengubur dalam-dalam dan membiarkan rasa itu mati...