Setiap pertemuan selalu memberi akhir yang entah bahagia atau terluka. Namun, juga tidak pernah ada pertemuan yang sia-sia.
Happy Reading❄️
***
"Syra?"
Syra mengerjap setelah mendapat tepukan tepat di pundaknya, ia menoleh ke samping dan mendapati Zulfa yang menatapnya dengan kerutan dahi.
"I-Iya, Ma?" tanya Syra sedikit takut. Pasalnya, ia sangat tahu bahwa sedari tadi ia melamun.
"Kamu kenapa, Nak? Lagi mikirin apa, sampai Mama ajak bicara dari tadi gak ditanggapi," Zulfa terkekeh sesudahnya.
Syra menunduk. "M-Maaf, Ma. Syra salah..."
"Lho, yang bilang salah siapa? Nggak kok, Mama cuma heran aja, gak biasanya kamu diam. Ada apa?"
Lagi, Syra tidak menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan ini. Sedari tadi, atau lebih tepatnya sejak semalam ia memikirkan ucapan Haikal.
Saat pria itu mengatakan akan tetap bertahan untuknya dan menyuruhnya untuk tidak membahas masalah kemarin, ia hanya diam dan tidak menjawab apa-apa hingga mereka tidur.
Haikal pun tampaknya tidak keberatan. Namun, kenapa sampai sekarang Syra masih memikirkannya?
Banyak hal yang ingin dia keluarkan pada Haikal, tapi, terhalang oleh kekakuan mulutnya sendiri.
"A-Anu, Ma. Syra cuma masih sedikit kepikiran abi." Syra beralibi. Zulfa merangkulnya dan menuntun untuk duduk di kursi yang tersedia.
Setelah mendapat posisi nyaman, Zulfa kembali menatap Syra dengan serius. "Jangan bohong, Mama juga sama seperti umi kamu, Mama tau,diamnya kamu sekarang bukan cuma karena Abi kamu, kan?"
Syra yang semula menunduk spontan mendongak menatap balik Zulfa. Setelah menghela sesaat, Syra memberanikan diri untuk bercerita. Karena mau disimpan seapik apapun, Zulfa pasti akan bertanya lagi dan lagi. Sifat mertuanya itu persis seperti uminya.
"Ma. Syra boleh tanya sesuatu?"
"Tanyakan apa yang perlu ditanyakan, nanti Mama jawab. Apa?"
Syra menjilat permukaan bibirnya terlebih dulu. "M-Mama kenal sama perempuan yang namanya Hilya?" tanyanya sedikit ragu. Zulfa mengerutkan dahi.
"Hilya? Maksudnya Icha?" Dia memastikan.
Syra mengangguk membenarkan.
"Dia itu teman Haikal setahu Mama, bahkan Haikal sudah menganggap dia adik sama seperti Ziya," jelas Zulfa. Syra terdiam.
Teman? Apa benar Zulfa tidak tahu bahwa Hilya mempunyai perasaan pada Haikal?
"Kamu kenal dia, ya, Nak?" Zulfa balik bertanya, membuat Syra pun kembali menatapnya.
"I-iya, Ma. Apa selain itu, Mama gak tau apa-apa soal Hil-Icha?"
Zulfa tampak mengingat-ngingat sesuatu. Beberapa saat kemudian dia menggeleng. "Nggak ada, cuma itu yang Mama tau. Haikal dan Icha berteman, gak lebih."
"Mereka teman sejak kecil?"
Ya, itu pertanyaan yang ingin Syra keluarkan pada Haikal. Walau sudah mendengar cerita dari Hilya, tetap saja, ia ingin tahu. Karena yang Syra sangat ingat dari cerita Hilya adalah kalimat 'dia hanya menganggap kedekatan kami sebagai sebuah pertemanan'. Jadi wajar, kan? Dia masih sangat penasaran.
"Nggak, mereka kenal 3 tahun yang lalu di rumah sakit. Mama juga kurang tau kenapa mereka bisa ketemu. Tapi, waktu utu, Icha sering datang ke rumah bawakan makanan dan tanya tentang Haikal. Pas Mama tanya Haikal, dia bilang kalau itu temannya. Lama kelamaan, Mama juga nyaman sama Icha dan mulai menganggap dia seperti anak sendiri, sama seperti Ziya," jelas Zulfa panjang lebar. Namun, yang paling membekas diingatan Syra adalah kalimat 'Mama juga nyaman sama Icha'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Selesai)
EspiritualKita terjebak dalam zona waktu yang salah. Ketika aku menginginkanmu, kamu justru menginginkan dia, seakan kita adalah dua orang yang sama-sama egois perihal rasa. Hingga, aku memilih mengalah dengan mengubur dalam-dalam dan membiarkan rasa itu mati...