[30] Pilihan dan Kewajiban

558 36 1
                                    

Karena, dalam hubungan mempunyai pilihan untuk tetap bertahan dan kewajiban untuk saling membahagiakan.

Happy Reading❄️

***

Syra mencicipi masakan yang masih berada di atas kompor. Namun, tiba-tiba saja pundaknya disentuh oleh seseorang. Saat berbalik ia mendapati Zulfa dan Ziya tersenyum di sana.

"Masak apa, Kak?" tanya Ziya sedikit mengintip ke arah belakang Syra. Lebih tepatnya, pada panci.

"Iya, Nak. Tumben udah ada duluan di dapur. Haikal yang suruh apa gimana?" imbuh Zulfa juga.

Syra gelagapan. Sejujurnya, saat ini ia tengah berada dalam mode menghindar dari Haikal. Itu karena setiap bersama dalam satu ruang dengan pria itu, jantungnya mendadak tidak baik-baik saja.

Apalagi, sejak kejadian tadi malam dan insiden pelukan itu, Haikal bersikap lebih manis dari biasanya. Seperti tadi sehabis melaksanakan sholat, tiba-tiba saja Haikal terus memperhatikan gerak-geriknya. Kan, ia jadi salah tingkah.

"Anu, Ma. Syra mau siapkan makanan lebih awal aja, soalnya takut Kak Haikal berangkat pagi," jawab Syra lalu menunduk. Memang, saat ini waktu masih sangat pagi, bahkan dia pun baru selesai menunaikan sholat subuh.

"Yaudah, mau Mama bantu? Ada Ziya juga nih," ucapnya sedikit melirik ke arah Ziya.

"B-Boleh, Ma. Tapi ini juga tinggal sedikit kok."

Zulfa tersenyum. "Nggak apa-apa. Justru Mama ucapin terimakasih, karena sudah buat repot pagi-pagi."

"Nggak repot sama sekali kok, Ma. Oh iya, M-Makasih sebelumnya," balas Syra tulus, Zulfa mengangguk.

"Sama-sama."

Setelah itu Zulfa lantas pergi ke arah rak piring untuk mengambil perlengkapan makan. Sementara Ziya, ia memilih untuk mempersiapkan meja makan.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Zulfa kini sudah kembali kehadapan Syra yang notabene masih setia mengaduk masakan di atas panci.

"Syra?" sahut Zulfa sambil mengelap beberapa piring, Syra menatap mertuanya.

"Iya, Ma, ada apa?"

"Nggak ada, Mama cuma mau bilang. Terima kasih karena tetap mau jadi menantu Mama. Kamu tau? Kemarin Mama sempat khawatir kalau hal-hal buruk yang Mama pikirkan itu jadi nyata." Zulfa tersenyum samar sesaat. "Mama sudah terlanjur terbiasa kamu di sini."

Mendengar itu, Syra tersenyum. Hatinya berbunga-bunga saat merasakan sendiri betapa keluarga ini sangat peduli padanya.

"Dengan izin Allah Syra tetap di sini, Ma. Tolong bimbing Syra jadi menantu yang baik, dan minta doanya untuk hidup rumah tangga Syra dan Kak Haikal, ya, Ma?"

Zulfa mengangguk. "Tanpa diminta Mama selalu berdoa yang terbaik untuk kalian," jeda sekian detik. "Oh iya, Mama boleh tanya sesuatu?"

"Boleh, Ma. Mau tanya apa?" balas Syra, balik bertanya.

"Kamu sama Haikal udah ada rencana untuk kedepannya gak?"

Mendengar pertanyaan Zulfa membuat Syra mengerutkan dahi bingung. "Maksudnya, Ma?"

Zulfa tidak langsung menjawab, dia menghela ringan terlebih dulu. Namun, Syra sempat menangkap senyuman aneh dari mertuanya itu.

"Iya, rencana kedepannya. Soal ingin memulai apa, mempertimbangkan apa, dan ingin punya anak berapa."

Lintas Rasa (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang