Berharap pada selain-Nya adalah kesalahan, dan tetap menunggu seseorang yang kita tahu tidak bisa lagi menjadi milik kita juga adalah sebuah kesalahan.
Happy Reading❄️
***
Syra menangis tanpa suara, ia baru selesai menunaikan sholat tahajjud dan setelah mengucap salam, air matanya kembali keluar, terlihat semakin menyakitkan.
Pada apa-apa yang pernah disemogakan, kini berganti dengan keikhlasan. Harus seperti itu.
Setelah dirasa cukup tenang. Syra mengambil mushaf Al-Quran yang dia taruh di atas nakas sebelum sholat. Sebelum itu, Syra melirik jam dinding. Pukul 03.45 pagi, sebentar lagi subuh dan akan ia manfaatkan untuk murojaah.
Syra membuka surah Ar-Rad, membaca dan meresapi setiap artinya. Di pertengahan, lebih tepatnya dalam ayat 39 tangis yang tadi telah reda kini kembali pecah.
Sungguh ini bukan dia, yang begitu lemah apalagi hanya karena cinta. Terlebih, bila mengingat semua kesalahannya yang terus egois dan mengharapkan satu nama yang ternyata tidak tertulis untuknya.
Ia lelah, sungguh lelah dan mengasihani dirinya sendiri.
Beberapa menit terdiam dan menangis, pendengarannya menangkap sholawat Tarhim berbunyi pertanda sebentar lagi adzan subuh. Syra segera menghapus air mata, menutup Al-Quran yang dia genggam lalu menaruhnya kembali di atas nakas.
Setelahnya, dia beristighfar sebentar agar meredakan rasa yang berkecamuk di hati. Kemudian barulah ia bangkit, melepas mukenah dan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu lagi.
Kurang dari lima menit Syra melangkah keluar, berjalan ke arah sajadah yang masih digelar, kemudian memakai alat sholatnya kembali dan berdzikir lagi agar hatinya semakin tenang sekaligus menanti adzan.
***
"Syra? Assalamualaikum, belum bangun, Nak?"
Panggilan itu membuat Syra yang semula sibuk membereskan tempat tidur langsung mengambil langkah cepat membuka pintu. Terlihat Amina yang tersenyum di sana.
"Wa'alaikumussalam, Umi. Maaf Syra tadi lagi beresin kasur." Syra membalas senyum Amina walau tipis.
"Iya gak apa-apa. Yaudah, yuk, Abi mau ketemu kamu, ada yang mau dibicarakan katanya," beritahu Amina masih dengan senyuman. Alis Syra tertaut, bingung.
"Abi mau bicara apa, Umi?"
Amina mengedikkan bahu. "Umi juga kurang tau, mending cepat siap-siap terus temuin Abi, umi mau siapin sarapan."
Syra menghela kemudian mengangguk segera. "Yaudah, Syra siap-siap sebentar."
"Yaudah sana, Umi pergi dulu." Amina tersenyum dan pamit kemudian, melenggang pergi dari sana tanpa menunggu jawaban.
Syra menghembuskan napas pelan, beralih pada kasur yang belum sepenuhnya rapi. Karena tak mau membuang waktu dan membuat Farhan menunggu, dengan segera Syra berjalan membereskan kasur. Setelah itu ia berjalan ke arah jendela kamar, membuka horden dan sedikit menghirup udara pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintas Rasa (Selesai)
EspiritualKita terjebak dalam zona waktu yang salah. Ketika aku menginginkanmu, kamu justru menginginkan dia, seakan kita adalah dua orang yang sama-sama egois perihal rasa. Hingga, aku memilih mengalah dengan mengubur dalam-dalam dan membiarkan rasa itu mati...