Bab 3

13.3K 535 19
                                    

Uti melupakan kunci kosannya, dia lupa membawanya. Kunci kosan miliknya ia simpan di laci kasir, lupa dia tidak memasukannya ke dalam tasnya. Alhasil sekarang dia harus kembali ke toko, dia juga yakin jika seniornya itu masih ada di toko karena sedang memasukan data. Dan benar saja dugaannya, dia baru saja membuka pintu toko dia dikejutkan dengan Kara yang tengah berciuman dengan seorang pria.

Uti memekik begitu menyadari jika pria yang mencium seniornya itu Bara. Bos besar butiknya. Akibat pekikannya itu lah membuat Kara mendorong tubuh Bara.

"U-Uti!" Seru Kara panik.

Sial! Dia terpergok oleh juniornya.

"Ma-maaf Mbak." Uti menundukkan wajahnya.

Sumpah dia benar-benar takut, bagaimana jika dirinya dipecat gara-gara ini. Dia masih butuh pekerjaan ini, pekerjaan di butik ini meskipun berat namun sepadan dengan gajinya. Jika dia dipecat dia harus mencari kerja ke mana, mengingat umurnya yang bukan lah fresh graduate.

Kara mengingit bibir bawahnya, dia panik. Bagaimana bisa dia bisa ketahuan oleh Uti? Bagaimana jika Uti membocorkan kejadian ini kepada managernya? Atau bahkan kepada orang-orang disekitar sini. Celaka, dia bisa dikeluarkan dari sini.

Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh wanita kesayangannya, Bara seketika berdiri dengan benar lalu memandang karyawan yang berada di depan pintu butiknya, tengah menunduk. Terlihat ketakutan, ia lantas berdehem untuk mengambil eksitensi karyawannya tersebut.

"Ekhem, siapa nama kamu?"

Pelan-pelan Uti mengangkat wajahnya, pandangannya terkunci pada wajah datar Bara. Ia seketika meremas kedua tangannya, aura disekitarnya langsung berubah. Dan ia benar-benar menyesali keputusannya untuk kembali ke sini. Ingatkan dia lain kali untuk membuat kunci cadangan, atau tidak semua barang yang ia miliki harus memiliki gantinya. Agar kejadian hal seperti ini tidak terjadi lagi.

"U-Uti Pak."

Bara mengangguk-anggukan kepalanya.

"Kamu, sudah berapa lama kerja di sini?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, jelas saja membuat Uti semakin ketakutan. Apakah ini akhir dari pekerjaanya?

Kara pun sama, dia sudah berkeringat dingin. Takut kekasihnya itu akan memecat Uti. Jika Uti dipecat, dia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

"Sa-satu tahun, Pak." Balasnya lagi dengan wajah yang benar-benar sudah pucat. Dia takut benar-benar ketakutan.

"Saya tidak akan pecat kamu, kalau itu yang kamu takutkan."

Uti dan Kara merasa lega dengan ucapan Bara.

"Tapi, kalau saya denger gosip tentang Kara. Kamu tahu kan konsekuensinya?"

Glek

Uti langsung menganggukan kepalanya. Sebenarnya tanpa atasannya itu mengancam dirinya, dia pasti akan menutup mulutnya rapat-rapat. Dia juga tidak mau di jauhi oleh Kara karena masalah ini. Kara sudah seperti kakaknya sendiri yang tidak dia miliki.

Bara kemudian kembali memutar tubuhnya menghadap sang kekasih.

"Lanjutin besok aja,"

"Ta-tapi aku belum selesai, Mas."

"Ck yaudah, saya nemenin kamu juga di sini."

"Mas, nanti anak-anak kamu gimana? Dia pasti nungguin kamu di rumah."

"Makanya kamu pulang ayo."

Uti seharusnya mengabadikan momen langka di sini, dan jika dirinya memiliki nyali ingin sekali dia membagikan adegan manis di depannya itu. Bagaimana mungkin seorang Bara Wicaksono yang diketahui, paling dingin dan tidak menyukai basa-basi mengeluarkan sifat manja hanya kepada seniornya soarang. Bukankah ini suatu keajaiban? Seumur dirinya bekerja di sini, baru kali ini dia melihat sisi lain dari Bara. Benar-benar suatu keberuntungan untuknya, namun dia juga merasa tidak enak. Pasalnya dia seperti patung, diam di depan pintu tanpa mengerjakan apa-apa. Dia yang takut karena penilaian untuknya buruk, segera berjalan dan menghampiri seniornya. Berniat untuk membantu.

Mas Duda, Anak Dua. Siapa takut?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang