Bab 41

10.3K 533 43
                                    

Kara mengetuk pintu kamar Javier sambil membawa telor goreng permintaan sang anak.

"Sayang, Buna masuk boleh?"

"Iya, pintunya gak aku kunci,"

Javier duduk di atas kursi belajarnya memunggungi Kara.

"Adek, ini makanannya. Makan yah," Kara menaruh piring yang berisi telor goreng dan naget di atas meja belajar Javier.

"Makasih, Buna. Buna udah makan?"

Javier bertanya sambil menyuapkan sesendok makanannya ke dalam mulut.

Bukannya menjawab, Kara malah tersenyum. "Habis ini, Adek duluan aja yang makan."

"Bener yah, makan?"

Kara menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia memperhatikan anak sambungnya itu dari belakang sambil berpikir. Apakah perkataan Wina benar? Gara-gara dia Javier jadi kurang ajar pada ibunya? Gara-gara dia juga, hubungan adik-kakak itu renggang. Dirinya jadi merasa bersalah, apa sedari awal dirinya memang tidak pantas untuk bersama dengan Bara?

Sedang asyik-asyiknya melamun, Javier tiba-tiba saja berujar.

"Emm, Buna. Kalau ayah sama mami nikah lagi, kita pergi berdua aja yuk, Buna. Adek nggak mau tinggal sama mereka di sini."

Kara diam, mencerna perkataan Javier.

"Buna bakal pisah kan, kalau ayah balikan lagi sama mami? Karena gak mungkin Buna mau sama ayah, kalau ayah kayak gitu."

Tunggu sebentar, mengapa Javier bisa berbicara seperti itu? Mengapa anak itu tahu betul mengenainya? Jika yang di utarakan Wina terwujud, dia yang akan mundur.

"Adek, sayang kok ngomongnya begitu?"

Javier yang sudah selesai dengan makannya, membalikkan tubuhnya. Kini mereka berdua berhadap-hadapan.

"Buna, emang Buna mau kalau ada mami di sini?"

Mendapat pertanyaan seperti itu, jelas saja membuat Kara kebingungan harus menjawab apa. Karena dia jelas mengerti, maksud perkataan Javier. "Di sini" itu artinya bukan sekedar numpang, tapi menjadikan maminya lagi istri kedua sang ayah.

"Kasih tau Buna, kenapa Adek bisa nanya kayak gini? Hm?"

"Adek cuman takut, takut yang dikatakan Abang beneran, Buna. Adek nggak mau,"

Javier menundukkan wajahnya, wajah bocah remaja itu menyendu.

"Kenapa? Mami Adek kan baik?"

Bungsu Bara itu menggelengkan kepalanya. Pada awalnya Javier ragu untuk bercerita, namun melihat Kara yang seolah menuntut jawaban darinya, akhirnya ia pun bercerita.

"No. Mami cuman sayang abang aja selama ini. Dia gak suka sama aku, dia selalu dorong jauh aku, gak pernah dapat perhatian dari mami. Mami selalu lupain aku, dia juga pernah marahin aku. Kalau kemana-mana mami selalu ajak abang, kalau abang maunya sama aku juga, tapi mami selalu punya alasan lain agar aku gak ikut."

Kara bangkit dari duduknya lantas memeluk Javier yang masih duduk di kursi belajarnya. Anak remaja itu menenggelamkan wajahnya pada perut sang ibu. Tubuhnya seketika bergertar di iringi tangisan, ketika dia bercerita mengenai ibunya dia selalu menangis. Karena ingatan ketika dirinya kecil yang selalu ditolak sang ibu, keluar begitu saja.

"Mami nggak sayang sama aku, Buna. Cuman Buna aja yang sayang sama aku. Mami selalu benci aku, dia bahkan gak mau ngakuin aku di depan temen-temennya. Cuman abang, dan selalu abang yang ada di pikiran mami." Kembali tangis Javier pecah. Kara mempererat dekapannya pada sang anak. Javier mengadu pada Kara orang yang belum lama ini menjadi bagian keluarganya, orang asing yang menerima kehadiran dirinya dengan baik.

Mas Duda, Anak Dua. Siapa takut?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang