Bab 23

11.2K 500 23
                                    

Kara itu memang tidak pandai memasak, yah kalau buat telor, mie dia bisa. Hanya saja selain kedua itu dia tidak bisa, untung saja Bara dan kedua anaknya tidak rewel dalam makan memakan. Pagi hari dia hanya menyiapkan sereal atau roti bakar atau cake ringan yang dirinya bisa buat untuk keluarganya. Susu untuk Javier jus jeruk untuk Melvin dan teh untuk Bara. Yah, setidaknya Bara sudah terbiasa meminum teh setiap pagi. Tidak lagi kopi, itu pun pada awalnya Bara menolak namun dengan alasan dia tidak mau menjadi janda muda baru lah Bara menurut. Ingat, dia masih muda.

Mungkin bagi Bara dan kedua anaknya tidak masalah. Jika sarapan itu terus selama seminggu. Tapi, begitu dirinya cerita kepada sang ibu. Dia diomeli habis-habisan, ibunya itu juga selalu mengungkit jika dirinya pemalas karena tidak mau belajar dengannya. Yah, dia orang sibuk pekerjaannya terus bekerja ketika masih single, bagaimana bisa memasak? Liburnya saja dia jarang, setiap libur pun selalu dia gunakan untuk tidur untuk mencharger energi, atau pergi nge-date bareng Bara. Bagaimana dia bisa belajar coba? Pikir Kara saat itu.

Namun, perkataan sang ibu kemarin tentang urusan perut dan laki-laki membuat Kara berpikir keras. Ibunya itu bilang, bukan hanya bisa memuaskan di ranjang saja tapi perut juga harus bisa dipuaskan. Tapi, kan dia dan Bara bukan orang kolot. Toh sekarang banyak yang jual makanan, untuk apa repot-repot membuat? Tapi, kembali dia diingatkan jika sekali-kali dirinya harus bisa memasak untuk keluarganya. Karena masakan istri atau ibu itu jauh lebih bisa memuaskan keluarga.

Oke, karena perkataan ibunya itu mulai membayanginya dia akan mencoba. Tapi nanti, setelah dia belanja bahan makanan.

Karena dirinya masih cuti, jelas dia baru menikah dengan Bara. Dia diberi cuti dua minggu. Wow sangat hebat bukan? Yah bagaimana yah, suaminya pemilik butik tempatnya bekerja, pun dia juga tahu suaminya itu tidak akan melepaskannya dari ranjang. Jadi ya, dia senang namun dia sedih juga. Dia sedih karena setiap hari selalu mengeluh dengan badannya yang kelelahan. Dia senang karena bisa beristirahat, menikmati jadi istri Bara Wicjaksono kenapa tidak?

Bulan madu? Tidak. Bara memang sudah mengajaknya, namun dia tidak mau. Untuk apa bulan madu, jika setiap hari Bara selalu meminta? Lagi pula bagaimana dengan anak-anaknya? Dia tidak bisa abai pada kedua anak sambungnya itu. Apalagi Javier? Anaknya itu benar-benar manja. Terkadang Bara selalu kesal dengan Javier karena dirinya selalu di duakan olehnya. Yah, bagaimana ya, Javier kan anaknya juga sekarang jadi seharusnya Bara lebih mengerti. Karena dia juga senang karena Javier benar-benar menyukainya.

"Mas, lepas. Aku mau bangunin anak-anak." Pinta Kara pada Bara yang masih setia memeluk tubuhnya.

Tangan Bara yang semula memeluk perutnya, kini nakal karena menelesup masuk ke dalam pakaiannya. Apalagi salah satu tangannya itu malah memaikan asetnya.

"Mas! Diem yah, aku mau bangunin mereka ah. Nanti kesiangan kasian!"

Bara menurut dia menghentikan aksinya.

"Kurang apa jatahnya semalem, hm?" Tanya Kara yang kini sudah duduk.

Bara terkekeh, semenjak menikah dia lebih sering tertawa ngomong-ngomong, semakin tampan saja. Apalagi di wajah bagian kirinya terdapat lesung pipi, jadi setiap tersenyum atau tertawa terlihat jelas, aih makin tampan saja suaminya itu.

"Kamu yakin tanya aku begitu?"

Kara berdecak sebal mendengarnya. Ia mengambil jepit rambut kemudian menggulung rambutnya. Bara diam saja memerhatikan Kara yang masih terlihat lelah.

"Coba aja kalau kita honeymoon,"

"Jangan mulai, kita udah bahas. Lagian mau bulan madu atau nggak, tetep aja kan jatah selalu aku kasih?"

Bara tidak bisa lagi menyembunyikan tawanya, dia tertawa mendengar Kara yang sedikit menggerutu di akhir.

"Yah namanya juga pengantin baru," balas Bara yang mendapat lirikan pedas dari Kara.

Mas Duda, Anak Dua. Siapa takut?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang