Bab 16

12.3K 548 29
                                    

Keadaan Javier sudah membaik, pun dengan Kara. Kara mengetahui keadaan Javier dari Nio sengaja dia tidak mencari tahu langsung, karena dia tahu jika dia menghubungi Javier. Dapat dipastikan anak itu akan kembali menempel padanya. Dia tidak mau kejadian lagi, cukup lah kemarin. Dia tidak mau dituduh seperti itu oleh Bara, memangnya tidak sakit hati apa dituduh seperti itu? Maka dari itu dia benar-benar tidak mau berurusan dengan keluarga Bara.

Sekalipun si duda itu kembali menerornya, setiap hari ada saja yang dilakukan pria itu. Seperti menyuap ibunya, misalnya; Bara membawakan makanan kesukaan ibu, namun tentu saja ibu tidak dapat membantunya, karena kekeras kepalaannya. Terkadang pria itu menyuruh asistennya untuk kemari, pekarangan rumahnya bahkan sudah seperti toko bunga. Karena Bara juga selalu membawakan bunga untuknya, dengan ucapan permintaan maaf yang tentu saja tidak dia baca sekalipun. Kartu ucapan itu selalu berakhir di tong sampah, ibunya jelas terkadang menegurnya karena aksinya.

Tapi, sekali lagi Kara tidak peduli. Dia tetap pada pendiriannya. Jika dirinya sedang merindukan Javier dia cukup menanyakan saja pada Nio mengenai bungsu Bara itu. Yang terkadang membuatnya sedih, karena Javier selalu menanyakannya. Untung saja Nio percaya jika dirinya sibuk di mal lain, jadinya Javier tidak berhasil menemuinya.

Sudah satu bulan rupanya dia terbebas dari Bara dan keluarganya. Bara tidak lagi menerornya setiap hari, hanya sesekali. Namun ia sekali lagi tidak peduli, toh untuk apa? Dia mulai terbiasa tanpa Bara dan anaknya. Ingatkan dia jika mantannya itu kembali dijodohkan oleh Bianca. Dan ingatkan juga jika hatinya harus bisa menerima, benar-benar menerima.

Hari ini Kara kembali off dia membantu sang ibu yang sedang membuat snack box. Tadinya jika dirinya tidak libur, ibunya sendiri yang akan mengantarkan ke sekolah, untung saja ada dirinya yang bisa mengantarkan.

"Sisa berapa lagi, Bu?" Kara bertanya sambil menyomot pastel sisa buatan ibunya.

"Lima lagi, tunggu yah."

Kara mengangguk sambil memakan lagi pastelnya.

Begitu snack box yang telah selesai dibuat oleh ibunya, ia lantas kembali menghitungnya takut salah. Bisa berabe kalau salah menghitung kan?

"Oke, udah sesuai. Yaudah aku packing dulu yah, Bu."

Lastri mengangguk, Kara mulai memasukan snack box tersebut ke dalam dus. Setelah itu mereka membawanya untuk dinaikan ke atas motor. Setelah siap, Kara kembali ke kamarnya untuk berpakaian.

Ibunya itu menggeleng melihat pakaian Kara yang hanya memakai kaos putih polos, dipadukan dengan cardigan jeans, bawahannya dia memakai celana jeans juga sepatu kets putih. Benar-benar anaknya itu terlalu simpel.

"Yaudah, aku anterin dulu ini yah, Bu." Pamitnya sambil mencium tangan sang ibu.

Lastri mengangguk, membiarkan anaknya itu pergi mengantarkan pesanannya.

***

Lima belas menit, Kara sampai di SMA bergengsi di kotanya. Sekolah yang  menjadi incaran banyak remaja di kotanya.

Kara masuk ke dalam gerbang sekolah sambil membawa dus besar yang berisi snack box. Matanya memindai satu persatu ruangan yang ada di sekolah itu, seharunya dia tadi menunggu si satpam bukannya main masuk saja ke dalam sekolah. Tapi, dia juga tidak mau menunggu karena box yang dipesan itu untuk siang ini. Jadi, dari pada dirinya terlambat karena menunggu lebih baik dirinya mencari saja.

Kara yang sudah mulai keberatan dengan dus yang dibawanya mulai mengeluh, ruang guru yang di maksud oleh ibunya pun dia belum menemukan. Sekolah ini terlalu besar menurutnya, sampai kemudian ada yang menegurnya.

"Hallo Kak, ada yang bisa kami bantu?"

Kara membalikkan tubuhnya dengan pelan, ia tersenyum kepada remaja tampan yang menegurnya namun seketika kaget melihat Melvin yang berdiri di samping remaja yang menegurnya.

Mas Duda, Anak Dua. Siapa takut?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang