Kara terenyuh, entah kenapa dia merasa sakit melihat Javier yang malah menangis dihadapannya. Sampai-sampai kedua juniornya melongok ke dalam gudang, namun mereka seakan mengerti jika ini privasi senior dan remaja itu. Maka dari itu mereka kembali keluar, membiarkan Kara dan Javier di dalam gudang.
Pada awalnya Kara ragu-ragu ingin memeluk Javier. Tapi melihat remaja itu yang menangis sambil menunduk dengan tubuh bergetar, membuat Kara tak tega melihatnya. Naluri keibuannya keluar begitu saja, dia memeluk Javier menenangkan remaja yang seperti bocah itu. Bukannya tangis Javier berhenti, malah sebaliknya. Javier menangis keras, sambil memeluk Kara dengan erat seolah takut kehilangan wanita itu. Karena Javier sudah menyayangi Kara dan dia merasa jika hanya Kara yang pantas menjadi ibu sambungnya. Kekasih ayahnya itu tanpa pamrih menyanyanginya.
"Sssttt udah yaa, jangan nangis lagi. Mbak Kara di sini, oke, udah yah."
Javier diam masih menangis dengan sesenggukan, Kara mengelus kepala Javier dengan sayang. Masih menenangkan bocah itu. Tinggi Javier sedadanya untuk ukuran anak SMP termasuk yang lumayan tinggi. Karena tinggi dirinya saja 170' an.
"Udah yah, jangan nangis lagi. Nanti kepala Javier sakit,"
Sambil menganggukan kepalanya, Javier mencoba untuk berhenti menangis.
Setelah dirasa reda, meskipun masih ada sisa-sisa tangisnya. Kara melepaskan pelukannya, wajah Javier begitu memerah apalagi matanya, semakin terlihat sipit saja. Kara semakim bersalah jadinya pada remaja tanggung ini. Kedua tangannya ia coba untuk menyeka air matanya yang masih keluar.
"Udah oke?"
Remaja itu mengangguk.
"Javier udah makan?"
Javier menggeleng, sambil menatap wajah Kara.
"Makan siang sama, Mbak. Mau?"
"Boleh?" Jawab Javier dengan suara serak.
Kara mengangguk menampilkan senyum cantiknya, ia kembali mengelus rambut bocah itu.
"Ayok, mbak juga mau makan bakso."
"Makasih, Mbak." Mata Javier menyipit sambil memamerkan dimplenya. Membuat anak dari Bara itu semakin tampan saja.
Kara dan Javier keluar dari gudang, bocah itu tersenyum tipis pada kedua junior Kara. Yang membuat mereka kaget dan tersenyum salting, karena baru kali ini mereka melihat Javier yang seperti itu. Karena setiap Javier kemari menanyakan Kara, Javier selalu bertanya dengan wajah datar tanpa senyum sedikit pun. Maka dari itu Desi dan Uti kaget akan Javier yang tersenyum padanya, meskipun itu sangat tipis.
"Mbak izin keluar sebentar yah,"
Uti dan Desi mengangguk, mereka terus memperhatikan keduanya ketika keluar dari toko.
***
"Javier mau makan apa?"
Javier diam memperhatikan sekitaran food court. Sampai kemudian pandangan matanya tertuju pada steak, Kara lalu memesannya. Dia sendiri memesan bakso sedangkan minuman mereka hanya air putih saja. Mereka kemudian kembali ke meja makan menunggu makanan mereka di antarkan.
Remaja tampan itu menundukkan wajahnya, ia jadi malu karena telah menangis kepada Kara. Dia kan sudah besar, sudah kelas 8 harusnya dia tidak boleh menangis. Tapi, dia benar-benar takut kehilangan Kara. Wanita di depannya itu membuatnya ingin selalu melihatnya terus-menerus. Karena jujur saja, terakhir dia bertemu dengan ibunya itu sudah lama dia tidak ingat. Perpisahan dengan ayahnya memang baru sebentar 3 tahun lalu. Tapi, ibunya jarang ada di rumah. Ibunya sering berpergian, karena ibunya seorang model. Dia juga jarang manja pada sang ibu selama ini, dia selalu manja pada ayah dan abangnya saja. Maka dari itu melihat Kara yang selalu perhatian padanya tanpa diminta, itu membuat dirinya tersentuh. Kara seolah mengisi kekosongan sosok ibu yang dia inginkan selama ini, dengan adanya Kara dia merasa tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Duda, Anak Dua. Siapa takut?
RomanceKara tidak pernah menyangka bisa jatuh cinta dengan seorang duda beranak 2. Sejauh apapun dirinya berusaha untuk menghapus rasa cinta itu, tetap saja sulit. Mengingat kekasih hatinya yang selalu meluluhkannya--- Bara Wicaksono Kara mengira jika kedu...