"Aku tak sepenuhnya tahu, apakah luka dalam diriku sudah sembuh atau sekadar mengering guna menyambut luka baru."
.
.
.Happy reading
💔💔
"Nira, Ibu pulang, Sayang!"
Kepulangan Tina ke rumah setelah seharian di luar disambut oleh helaan napas Joan. Pria berkaus hitam lengan pendek itu tengah duduk santai di sofa depan tv bersama Nira di sisi kanannya.
"Ibu dari mana aja?" tanya Nira.
Bukannya menjawab sesuai pertanyaan, Tina justru berujar, "Nih, Ibu beliin sesuatu buat kamu!" Lalu mengeluarkan dress cantik dari dalam paper bag biru muda.
Melihat itu, bola mata Nira dibuat refleks melirik sang ayah di sisi kiri. Beliau hanya terdiam seraya ibu jari memijit pelipis sendiri.
"Ibu seharusnya nggak perlu beliin aku, aku lagi nggak ada butuh sama dress itu," katanya kemudian.
"Nggak masalah, orang bagus gini, kok!" Tina lantas juga mengeluarkan kemeja dari paper bag lain. "Nah, kalo ini buat Mas Joan. Bagus 'kan?"
Tidak adanya jawaban dari mulut Joan sudah menjadi jawaban jika pria itu marah. Padahal tadi pagi baru saja mereka bertengkar pasal uang. Namun, kali ini Tina justru berulah. Entah dari mana dia bisa mendapatkan uang, padahal Joan tidak memberikannya sama sekali meski seratus ribu.
"Dapet uang dari mana kamu?" Akhirnya Joan membuka suara.
Dengan gaya angkuh, Tina menjinjing tiga tas hasil belanjaannya kemudian di letakan di meja kecil yang ada di ruang tengah sana. "Aku buat kartu kredit. Lagian salah kamu juga nggak mau ngasih aku uang. Jadinya aku buat, deh tuh kartu biar bisa seneng-seneng!" balasnya terlampau jujur.
Mendengar itu, jelas amarah Joan yang telah padam kembali timbul perlahan. Wanita yang dia nikahi hampir satu tahun itu ternyata mulai menunjukkan sifat aslinya.
"Atas nama siapa? Siapa yang harus bayar itu semua?" tanya Joan lagi. Kali ini, intonasi dan nada bicara pria itu sudah berubah datar, pun sorot mata tampak tajam.
Namun, hebatnya Tina tetap terlihat santai. Tidak terintimidasi sama sekali. "Ya, kamu-lah. Siapa lagi! Suami aku 'kan kamu, jadi itu jelas tanggung jawab kamu, Mas!" ujarnya.
Saat itu juga Joan langsung beranjak dari sofa. Berjalan mendekati sang istri lantas mengambil semua paper bag belanjaannya sebelum dibanting ke lantai. "Saya menikahi kamu bukan untuk foya-foya semata! Kamu pikir, cari uang itu mudah, hah? Kamu nggak mikirin keadaan kedepannya?!"
Bahkan Nira dan Tina sampai terkejut meskipun keduanya sudah tahu akan reaksi Joan setelahnya.
"Udahlah, aku lagi nggak mau ribut-ribut! Lagian salah kamu sendiri nggak mau kasih aku uang tadi pagi!" tukas Tina masih saja menyalahkan sang suami.
"Kamu---"
"Yah!" Teriakan Nira berhasil menghentikan pergerakan tangan Joan yang hampir melayang. Saat itu jua, Tina langsung memungut belanjaannya di bawah lalu masuk ke dalam kamar tanpa peduli apa pun.
Sungguh, hari ini sangat tidak menyenangkan. Banyak kejadian tidak diinginkan telah terjadi.
"Y-yah, aku ngewakilin Ibu, kami minta maaf, ya kalo udah sering ngerepotin di sini ...," ucap Nira kepada Joan. Suara gadis itu terdengar ragu-ragu, mungkin karena takut terhadap respon beliau.
Namun, ternyata Joan merespon lembut. Berbanding balik seperti saat berinteraksi dengan sang ibu tadi.
"Sudahlah, Nira. Ini semua bukan salah kamu," katanya seraya tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny: Segores Luka [SELESAI]
Teen FictionNOTED: Terinspirasi dari kisah nyata. (Squel Love Destiny: Sebatas Luka) "Kebahagiaan" adalah satu kata yang ingin seorang April wujudkan dalam hidup. Sejak kematian sang ibu, dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sang ayah karena dirinya d...