"Cinta pertama anak perempuan yang orang-orang bilang adalah sosok sang ayah, nyatanya tidak seratus persen valid."
.
.
.Happy reading
💔💔
"Pril? Bangun, yuk udah siang."
Gadis yang terlelap di atas sofa depan televisi itu tampak membuka mata dengan berat. Dia mengucek mata berulang kali guna memperjelas pandangan mata. Sebelum benar-benar duduk, dia juga sempat memijat pelipis yang terasa pening. Mungkin ini efek dari udara dingin semalam.
"Kamu, kok bisa tidur di sini? Kenapa nggak di kamar?" tanya Nira, bingung.
"Nggak papa." Hanya jawaban itu yang April berikan. Dia terlalu malas untuk menjelaskan panjang lebar. Lagi pula, malam itu sudah berlalu.
"Eh, udah bangun toh. Syukurlah." Tiba-tiba sosok Tina muncul. Wanita itu sepertinya memang ingin membangunkan April, tetapi didahului oleh sang putri. "Sekarang kamu ke dapur, gih. Lanjutin masakan ibu. Ibu cape soalnya semalam istirahatnya kurang cukup."
Sudah tertebak, perasaan April sudah buruk sejak melihat wajah wanita berkulit agak sawo matang ini. Pasti bukan tanpa alasan dia rela menghampirinya di sini. "Sekarang nggak bisa. Saya lagi sedikit nggak enak badan," tolak April mentah-mentah.
"Kamu sakit?" Nira merespon gesit. Dia memajukan kursi rodanya agar lebih mendekat kepada April. Menyentuh kulit lengan gadis itu guna memastikan dan benar saja, terasa hangat.
"Nggak usah banyak alasan! Cuma kaya gitu aja manja." Tina bersedekap dada sembari memutar bola mata jengah.
"Saya kaya gini juga gara-gara Anda. Atau gara-gara faktor umur, Anda lupa tentang semalam?" Tak mau kalah, April merespon tanpa menyaring omongan. Dia berdiri, lantas melengos ke samping guna kembali menuju kamarnya.
"Kamu ini!" Tina mengekori April dengan kesepuluh jemari mengepal, berniat menarik rambut anak tak tahu tata krama tersebut. Namun, urung saat melihat Joan baru keluar dari kamar gadis itu.
Pria itu berhenti di ambang pintu sehingga membuat langkah April tertahan. Dia lalu mengatakan sesuatu yang membuat Tina lagi-lagi merasakan kemenangan tanpa membuang banyak tenaga.
"Cucikan pakaian saya dan Tina sekarang. Kamu bisa ambil pakaian kotor kami di kamar." Pria itu kemudian berlalu begitu sahaja tanpa mau mendengar tanggapan April.
Padahal April juga harus berangkat ke sekolah. Apabila dia menuruti perintah Tina dan Joan dalam satu waktu sekaligus, maka dirinya akan sampai terlambat di sana. Oleh karena itu, dia memilih siap-siap untuk berangkat ke sekolah, mengabaikan perintah sang ayah karena bagaimanapun pendidikan tetap paling utama. Namun, ketika dia hendak memakai sepatu, dua ranjang berisikan beragam pakaian dilempar ke depannya hingga membuatnya terlonjak kaget.
"Kamu budek? Saya minta kamu buat cuci semua baju ini!" Seruan Joan semakin membuat debaran jantung April menggila.
"Tapi, Yah ... aku har---"
"Nggak usah membantah! Cuci atau selama dua hari ke depan, kamu nggak usah makan!"
Kedua mata April dibuat memerah. Lagi-lagi ancaman ini diberikan padanya. Ingin membantah, tetapi resiko akan sangat berat. Tidak mustahil jika pria itu akan bermain tangan kepadanya.
"Mas? Kenapa, sih marah-marah? Biarin April sekolah, nanti aku yang nyuci semua baju itu, ya." Seperti biasa, perkataan Tina jikalau sedang berada di dekat Joan merupakan omong kosong.
April tahu betul bahwa wanita dengan rambut sebahu itu sedang mencari perhatian. Pura-pura sok baik dan sok perhatian pada dirinya, padahal jika mereka sedang berdua, sifatnya mirip nenek lampir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Destiny: Segores Luka [SELESAI]
Teen FictionNOTED: Terinspirasi dari kisah nyata. (Squel Love Destiny: Sebatas Luka) "Kebahagiaan" adalah satu kata yang ingin seorang April wujudkan dalam hidup. Sejak kematian sang ibu, dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sang ayah karena dirinya d...