Part 12

54 3 0
                                    

"Sesungguhnya orang yang bunuh diri
adalah orang yang paling menginginkan kehidupan."

.
.
.

Happy reading

💔💔

Pukul 2 siang, April baru sampai di kediaman. Dia pulang sekolah dengan menaiki angkutan umum berupa angkot. Meskipun berdesakan dan panas, tetapi yang terpenting adalah biayanya yang terbilang murah. Hingga sesampainya di dalam kamar nanti dia berniat menyalakan kipas angin guna menghilangkan rasa gerah di tubuh. Namun, dia malah dikejutkan dengan keberadaan Agas di sofa ruang tengah bersama Nira.

"Ngapain di sini?"

"Nunggu lo."

April berdecak mendengarnya. Tanpa ada niat bergabung, dia melangkah begitu saja melewati mereka berdua seraya membawa air muka keruh. Namun, dengan cepat jemari Agas mencekal pergelangannya, membuat derap kaki harus terhenti seketika.

"Lo kenapa? Nggak suka gue dateng ke sini?" tanya lelaki itu.

"Gue capek, mau langsung ke kamar."

"Kak Agas mau ngajak kamu keluar." Nira tiba-tiba menyahut, mengatakan niat kedatangan Agas ke rumah ini. "Nanti malam katanya."

"Gue nggak bisa." Belum apa-apa, tetapi April langsung menolak.

"Kenapa? Gue cuma mau ngajak adik gue ini makan di luar. Udah lama juga 'kan kita nggak seneng-seneng bareng? Biar gue yang nanti izin sama Om Joan."

April tak merespon lagi. Dia justru melirik Nira di sofa depan televisi sana. Gadis itu jua sedang menatapnya. Entah apa yang ada di pikiran kakak tirinya itu, tetapi April merasa kesal begitu mengingat kejadian belakangan ini.

"Ya, terserah. Gue sekarang mau ke kamar, lagi nggak mau diganggu," ujarnya sebelum melanjutkan langkah dan masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu.

Jelas jantung kedua insan di ruang tengah tersebut dibuat berdebar kencang saking terkejut. Terutama Nira yang merasa bersalah dan kalut.

Apakah usaha untuk meluluhkan hati adik tirinya selama ini akan berakhir sia-sia?

"Ada yang lo sembunyiin dari gue soal April?" Seakan mampu membaca kepanikan Nira, Agas mendadak bertanya demikian karena  lelaki itu memang belum tahu menahu soal permasalahannya bersama April.

"Nggak ada, Kak. Oh, ya sampe lupa ... Kakak mau minum apa? Aku buatin." Dengan hati-hati berniat mengalihkan topik, Nira beralih menaiki kursi roda.

"Nggak perlu, gue udah mau balik. Kalo gitu gue titip, April, ya. Kalo ada apa-apa, langsung hubungi gue aja. Gue percayain dia sama lo."

Sepeninggalan Agas, Nira menghela napas berat. Dia memandang nanar pintu kamar April meski sukar terjangkau oleh sorot mata. Ragu-ragu, kursi rodanya pun diarahkan mendekat ke sana, sebelum tangan terangkat guna mengetuk pintu kayu sampai si empu menampakkan raga.

"Pril ...."

"Apa? Gue udah bilang 'kan lagi nggak mau diganggu?"

Nira menelan ludah susah payah. Dia harus bisa mengutarakan kegelisahannya pada sang adik saat ini juga. Dia harus mendapatkan maaf kali ini, sangat tidak enak jika terus merasa asing satu sama lain. Padahal biasanya mereka bertegur sapa meski sekadar melalui senyum.

"Aku cuma mau nanya. Kamu masih marah soal kemarin? Kalo iya, aku bener-bener mau minta maaf. Aku janji nggak bakal ngulangin lagi. Aku bakal ngabulin apa pun permintaan kamu asal kamu maafin aku," ucapnya disertai kedua mata memerah.

Love Destiny: Segores Luka [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang