53. Love in Tavern

636 68 20
                                    

"Kau sendiri tahu konjungsi semesta tidak akan bisa dilakukan tanpa dirimu, seharusnya kau mulai menurunkan tembok egomu, Ara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau sendiri tahu konjungsi semesta tidak akan bisa dilakukan tanpa dirimu, seharusnya kau mulai menurunkan tembok egomu, Ara." Dewa Takdir kembali berbicara.

Dia menodongkan pistol ke kepala Ara. Seperti menyatakan bahwa ini adalah akhir kehidupannya. Padahal, Ara tidak akan peduli itu. Dia hanya duduk dengan pandangan dingin. Dewa Takdir mengubah padang rumput hijau itu menjadi tempat gelap seperti gudang penyekapan. Dan Ara yang disekap. Gadis itu diikat di kursi dengan tali tambang di kedua tangannya. Sebenarnya, ia bisa melepaskannya tapi Ara memilih untuk tetap diam, menikmati suasana mencekam yang dibuat.

"Sampai kapan kau akan terus masuk ke mimpiku?" tanya Ara datar. Dia tidak terlihat berminat dengan percakapan ini. Terlebih lagi dia menciptakan suasana yang buruk.

"Artemis sedang mengandung. Kau tidak akan mengorbankan dia dan bayinya kan?"

Ara tidak menjawabnya. Mau berapa lama pun Dewa Takdir bertanya. Ara tidak akan membuang-buang waktunya untuk menjawab. Dia hanya akan terus diam menunggu pelatuk itu ditarik.

"Barbara," ucapnya penuh peringatan.

"Tembak aku dan kau akan tahu apa yang kulakukan setelah ini," jawab Ara lebih santai. Pelatuk pun ditarik, pelurunya melesat begitu cepat hingga menembus kepala Ara.

Ara membuka mata. Nafasnya tercekat. Dia merasa tembakan itu benar-benar melubangi kepalanya.

"Kau bermimpi buruk?" tanya Sean pelan. Lelaki itu mengusap kepala Ara, usapan lembut dan sungguh menenangkan. Ara menoleh. Dia lupa bagaimana bisa berakhir di atas kasur tanpa melakukan apapun. Maksudnya-Sean terlihat santai ketika Ara tidur di pelukannya. Dan Ara merasa baik-baik saja.

"Tidak," jawab Ara singkat. Dia hendak bangkit dari posisinya tetapi ia merasakan kedua tangannya yang nyeri. Ara mengangkat tangannya. Melihat sebuah memar kebiruan yang tidak terlalu parah di jarinya. Seingat Ara, dia hanya minum semalam, bukan bermain gulat.

Seakan mengetahui apa yang Ara pikirkan, Sean berkata, "semalam kau memukulku, karena itu tanganmu terluka. Tapi, aku sudah mengompresnya. Rasa sakitnya akan segera hilang."

Kalimat Sean membuat gadis itu heran. Dia bangkit dari posisi terlentang dan duduk menatap Sean. Seperti kembali ke setelan pabrik, wajah riang nan menggemaskan Ara semalam sekarang musnah. Digantikan dengan pribadi gadis itu yang dingin dan keras.

"Kenapa?" tanyanya pelan. Sean mengusap jari jemari gadis itu, membuat Ara sempat melirik kedua tangannya. Benang ungu itu kembali muncul, terlihat tebal dan berkilau.

"Kau marah," lirih Sean. Lelaki itu ikut bangkit. Dia duduk sembari bersandar di kepala ranjang. Mereka berhadapan, cukup dekat sampai-sampai jantung gadis itu berdetak kencang. Oh, ya, ini penyakit jantung.

"Karena?"

Sean menaikkan salah satu alis. Ternyata Ara tidak ingat sama sekali dengan apa yang terjadi semalam. "Karena aku tidak membelikanmu permen kapas. Dengar, itu sudah lumayan malam dan penjualnya tidak ada di depan." Entah kenapa Sean menjelaskannya. Seakan dia benar-benar bersalah dalam hal ini.

This Cruel Alpha [3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang