33. Madness of Athena

932 85 17
                                    

Ara menggosok belati yang Philia bawakan untuknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ara menggosok belati yang Philia bawakan untuknya. Ada beberapa, dan lumayan tajam apalagi untuk menusuk jantung seseorang. Ah, tidak. Gadis itu sedang tidak ingin berkelahi. Sean melarangnya untuk keluar dan beraktivitas dahulu. Semua dia lakukan di dalam kamar. Ara tahu, salju masih cukup lebat di luar sana. Jika Ara keluar, yang ada dia akan menyusahkan orang-orang.

"Apa ini sudah pas?" tanya Philia saat memasang papan dart di dinding depan Ara, jaraknya sekitar lima meter lebih. Gadis itu mengangguk. Sebenarnya, papan dart digunakan untuk lempar anak panah, bukan pisau, tapi Ara sengaja meminta pisau. Dia tidak peduli jika papan itu rusak. "Silahkan, Luna."

Setelah Philia minggir, Ara langsung melempar pisaunya dengan tangan kanan. Suara pisau yang menancap keras ke papan mengagetkan Philia—tidak berada di sasaran, tapi cukup dekat. Ara menyipitkan mata, apakah kemampuannya sekarang berkurang? Sepertinya dia terlalu banyak bermain menjadi putri raja.

"Alpha datang."

Pemberitahuan itu diikuti suara pintu yang terbuka pelan. Ara tidak menoleh, dia lebih memilih menggosok belatinya lagi. Oh, tentu saja Sean akan datang setiap jam untuk mengecek keadaannya. Lelaki itu sedikit gila dan lebih banyak posesif.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Sean sembari mendekat. Entahlah sudah berapa kali dia menanyakan itu dalam sehari. Dengan helaan nafas malas, Ara menoleh.

"Jawabanku sama seperti tadi," katanya ketus. Sean mengangguk mengerti.

"Baiklah, aku akan kembali nanti, lanjutkan kegiatanmu." Lelaki itu hendak berbalik pergi setelah memastikan Ara baik-baik saja. Ara sedikit kesal mendengarnya.

"Kau tidak mau di sini saja?" tawar Ara sebelum Sean sempat keluar dari kamarnya. Lelaki itu berbalik lagi. Dia mengangkat salah satu alis. Seperti sedang melakukan pertimbangan, padahal Ara tahu Sean menginginkan itu. Akhirnya, Sean memilih duduk di sebelah gadis itu, mendekatinya dengan halus. "Membosankan berada di kamar seharian," adu Ara.

Sean mengusap kepala gadis itu, menatapnya dalam dan penuh emosi yang campur aduk. "Aku tahu." Sean mengangguk. "Tapi, itu lebih baik." Dia menyelipkan anak rambut ke telinga Ara, membuat Sean lebih leluasa menatap wajah cantiknya—benar seperti yang orang-orang katakan—Kecantikan Ara sungguh melebihi ekspetasinya terhadap penampilan shewolf manapun.

"Menurutmu. Menurutku tidak." Ara kembali melemparkan salah satu pisau di tangannya, kali ini tepat sasaran.

"Keren," timpal Sean menanggapi tindakan Ara. Gadis itu menatap Sean curiga. Dia memakai baju rapi dan—yeah, lebih ribet. Kelihatannya lelaki itu hendak pergi.

"Kau akan kemana?" tanya Ara kemudian.

"Ke desa sebentar. Sore ini aku akan kembali, tidak lama," dustanya. Namun, Sean mengatakannya tanpa keraguan sedikit pun. Tentu saja membuat Ara hampir percaya.

"Ada apa?"

"Masalah kecil." Sean mengangkat bahu, tidak berniat membahas hal ini lebih lanjut karena semakin lama Ara hanya akan semakin curiga. Dia tidak pergi ke desa, Sean hendak pergi ke pengadilan dunia hitam. Letaknya di pulau lain, tentu saja perlu perjalanan berhari-hari jika dengan manual. Entah itu berjalan ataupun berkuda. Namun, karena ini situasi darurat, secara langsung Chelsea—Ratu Dunia Hitam—menjemputnya ke istana Aveloan.

This Cruel Alpha [3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang