11. Last Ritual

1.2K 108 6
                                    

Setelah itu, mereka hanya membutuhkan darah dari telapak tangan Sean lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah itu, mereka hanya membutuhkan darah dari telapak tangan Sean lagi. Ke baskom emas dengan cahaya bulan yang menerangi. Sean menyayat ulang tangannya tanpa ekspresi. Kemudian meneteskan darah ke sana. Ara tidak melakukan banyak hal selain mencoba berdiri dengan tegak dan tidak membuat kekacauan. Yang barusan sudah cukup membuatnya terkejut.

Dia melirik Sean. Lelaki itu tidak menumpahkan kemarahannya. Ah, atau belum. Tentu saja untuk tindakan Ara barusan. Mungkin beberapa menit lalu, Ara masih bertanya-tanya dimana letak kekejaman sang Alpha, tapi sekarang dia tahu. Lelaki itu memang penuh dendam dan tidak berperasaan.

Darah yang ada di baskom menyatu dengan anggun. Macam sebuah titik yang berputar menari-nari di dalam air. Darah Ara terlalu banyak, tapi itu tidak mengurangi keindahannya. Gadis itu tersentak ketika Sean menarik tangannya sedikit kasar.

"Luna," panggil Sean menyadarkan Ara. Oh, sial. Panggilan itu membuat Ara muak. Dia sungguh tidak menyukai embel-embel mengerikan dalam namanya. Sean mengarahkan tangannya untuk menangkup. Di bawah tangan Ara, Sean memegangi keduanya.

Hurem mengamati mereka berdua dengan senyuman lebar. Entahlah, pak tua itu sangat senang tersenyum. Jadi, lupakan saja setiap sikap anehnya. "Wah, sepertinya Dewa Apollo juga datang memberi restu," ujarnya sambil meletakan bunga teratai pada tangan Ara.

Mendengar nama asing itu, Ara menaikkan alis. Menatap Hurem dengan lirikan sadis. Ara tak mengenalnya, tapi Hurem bersikap seakan mereka sudah kenal lama. Pak Tua itu menepuk bahu Ara sekali, seakan memberi semangat. Apa-apaan itu?

Tangan Sean mendorong Ara untuk meletakan teratai itu di atas baskom bersama. Menghiraukan kalimat Hurem. Seperti yang Hurem duga, sinar bulan menjadi lebih terang. Cahaya keluar dari dalam baksom, menyatu dengan sinar bulan dari jendela-jendela. Ditambah lagi atap aula yang berlapis kaca. Membuat bulan purnama terlihat jelas di atas mereka.

Artemis yang berdiri di salah satu sisi aula tertegun melihat sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.

"Sepertinya ada yang aneh," bisik Damian menyadari betapa melimpahnya cahaya yang menyinari teratai juga Alpha dan Luna.

"Dewa Apollo benar-benar memberikan restu. Juga, kedatangan Dewi Selene. Kau tahu maksudnya?" balas Artemis dengan berbisik. Damian menoleh cepat.

"Kenapa kau tanya padaku?" sahut Damian. Selama ini yang pernah bertemu langsung dengan para dewa hanyalah Artemis, bukan Damian. Perempuan itu malah bertanya padanya. Artemis mendengkus.

Hurem maju, berdiri di hadapan Ara dan Sean. Rautnya masih jenaka. Dia memegangi baskom emas itu. Tidak tahu kenapa, tapi rasanya Ara ingin menampar wajah Hurem. Dia mengesalkan.

"Siapa dia?" bisik Ara dengan menoleh pada Sean. Well, pertanyaan itu membuat Sean sedikit terkejut. Itu karena Ara yang bertanya dulu padanya. Sean balas menatap gadis itu.

"Hurem, tetua sekaligus Oracle di Aveloan."

Ara mengerutkan kening tidak mengerti. Namun, dia tak lanjut bertanya. Sepertinya tidak terlalu berguna juga.

This Cruel Alpha [3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang