62. Death is Coming

970 68 49
                                    

Ara membagikan sisa obat terakhir yang ia miliki di tas kudanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ara membagikan sisa obat terakhir yang ia miliki di tas kudanya. Tidak semua orang mendapatkan bahan makanan dan obat. Karena yang tersisa hanya ini, Ara tidak bisa berbuat banyak. Dalam bunker, penerangan tidak terlalu membantu. Obor yang ada di tempat ini hanya sedikit, itu pun tidak akan bertahan lama. Mereka harus membuat api unggun untuk penerangan lebih.

Mungkin kalian berpikir hal yang sama, bunker ini terlihat seperti sebuah lorong kereta api dari depan. Tapi, sebenarnya lorong gelap itu hanya sepanjang sepuluh meter. Selebihnya adalah ruang kosong luas nan gelap dengan lantai tanah. Ini terlihat seperti desa bawah tanah. Setidaknya cukup besar untuk menampung mereka semua.

"Kita harus menyalakan api," lirih Ara pada Damian yang baru saja kembali membagikan bahan makanan. Dia mendekati Ara.

"Keadaan di luar sedang tidak kondusif. Aku akan mencari kayu bakar, kau tetap di sini," katanya terdengar tegas. Namun, Ara menggeleng. Dia hendak menolak, dengan berbagai alasan tentu saja. "Bagaimana dengan perutmu?" tanya Damian.

Ara meraba perutnya sendiri. Rasa sakitnya menghilang perlahan. Dia tidak tahu artinya. Antara Sean sudah menyembuhkan diri, atau lukanya tidak pernah sembuh. "Ya." Ara mengangguk. "Aku akan ikut mencari kayu."

"Jangan." Veron mendekati mereka. "Sean akan murka jika kau keluar sendirian."

"Hanya mencari kayu," tekan Ara. Entah mengapa dua makhluk ini terlihat sangat meremehkan Ara. Dia bukan sekedar manusia lemah sekarang. Gadis itu pun mengambil peta yang ada di tas kuda. Dia membukanya, kertas yang tadinya berisi map Aveloan sekarang begitu kosong. "Bawa ini keluar ketika bulan sudah nampak. Maka gambar di petanya akan muncul." Ara memberikan benda itu kepada Damian. "Terima kasih sudah membantuku."

"Kenapa kau berbicara seakan kau akan mati?" cecar Damian, dia terlihat kesal. Ara memutar bola matanya, jengah.

"Aku hanya memenuhi janjiku." Ara mengangkat bahunya. "Damian kau jaga mereka di sini, aku dan Veron akan berpencar mencari kayu."

"Huh? Harusnya kau yang berjaga," tolak Damian.

"Jika kau keluar, Sean akan marah," timpal Veron. Ah, mereka melantur. Lagipula Sean tidak ada di sini kan?

"Aku ingin memasang tabir sihir di sekitar bunker agar mereka tidak mendatangi kita," jelas Ara pelan. Dia bahkan setengah berbisik untuk mengatakan itu. Hanya agar orang-orang desa yang tengah bercengkrama di belakangnya itu tidak mendengarnya. Damian dan Veron terdiam beberapa saat. Mungkin mereka dalam satu pemikiran.

"Baiklah." Veron mengangguk. Dia pun berbalik dahulu, menuju pintu keluar bunker. Ara menatap Damian selama beberapa saat, seakan memberi kode untuk tetap tinggal dan jangan melangkahkan kaki keluar sedikit pun.

"Aku mengerti," balas Damian malas. Dia terlihat kesal dengan wejangan Ara. Lelaki itu berbalik, kembali ke orang-orang yang tengah berkerumun.

Ara pergi, mengikuti Veron yang membuka pintu bunker. Keadaan di luar masih sama. Sepi dan terasa seperti—Well, hutan. Setidaknya mereka belum mencapai tempat ini, semoga. "Aku akan ke timur, kau ke barat." Itu yang Ara ucapkan tanpa menoleh sedikitpun. Dia berbalik pergi begitu saja, menelusuri hutan untuk mencari kayu bakar.

This Cruel Alpha [3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang