Ngambek nih

1K 118 12
                                    

"Ada es krim versi baru yang keren rasa vanila loh, udah mba kasirnya cantik banget lagi. Double kill ga tuh? Hahaha", pemuda bermata safir itu mengoceh dari kejauhan tanpa mengindahkan orang yang dituju hanya menoleh tanpa ekspresi.

Siapa lagi kalau bukan Taufan yang memegang 2 es krim yang disatukan ditangannya, sementara tangan satunya membawa kantong plastik hitam berisi es krim, minuman, dan jajan.

Ia menghampiri remaja yang sedang duduk di ayunan taman sambil sesekali kakinya mendorong pelan membuat ayunan itu serasa menggambarkan pikiran kacau sang tuannya.

"Coba nih, yakin besok pasti kau ketagihan. Cuman 10 ribu bayangin, ada varian rasa strawberry sama coklat juga sih. Tapi aku yakin kau ga terlalu suka", ucap Taufan sembari menyodorkan satu sisi dari es krim yang ia makan.

Solar mengambil es krim itu sebelum tetes lelehan es itu mengenai pangkuannya.

"Kemahalan kalo buat es krim", ucapnya singkat.

"Mahal gimana sih? Kan dapet 2, berarti satunya 5 ribu, jenius"

Taufan mendudukan dirinya di ayunan sebelah sang adik setelah menaruh kantong plastik hitamnya di tanah, es krim bagiannya sudah tinggal setengah dan ia masih lahap menjilatinya dengan semangat.

Solar hanya terdiam, menggigit ujung es krimnya dengan tidak berselera, matanya memandang pada kejauhan yang tak berujung. Ia melamun dan manik safir menyadari itu.

"Cepetan makan, ada 2 lagi di plastik tuh. Keburu meleleh"

"Hm", jawabnya.

Taufan tersenyum, " jangan ngambek lagi dong"

"..."

"Kak Hali lagi saklek kayaknya, stress sama masalah organisasi di kampus", ucap Taufan menjilati krim yang hampir terjatuh.

"Soalnya banyak kegiatan akhir-akhir ini trus wakilnya kak Hali kan absen agak lama. Yah, jadi dia harus urus sendiri semua keperluan acara"

Solar masih terdiam, tak berniat membuka suara dengan topik ini. Es krim miliknya cukup meleleh karena ia lambat memakannya, namun lelehan itu ia arahkan ke tanah agar tak mengenai celana panjang dan sepatu putih bertali oranyenya.

Didepan mereka terpangpang plastik hitam yang Taufan bawa dan tas putih bercorak sedikit garis oranye yang terbuka. Entah manik silver itu lupa menutupnya atau memang ia ingin melihat isi didalamnya.

Sesuatu yang bersinar terlihat menyala dari dalam tas itu, sebuah logam terbentuk dengan gantungan lambang cahaya. Benda yang menjadi penyebab kekesalan remaja yang terus melamun di ayunan saat ini.

"Hey, jaga baik-baik kunci kesayanganmu itu"

Solar kini memandang tasnya yang terbuka.

"Sembunyiin dimana kek, biar ga ditemuin sama bang gledek", ucap Taufan dengan nada bercanda.

"Kalau dia mau, dimanapun aku sembunyikan akan dia ambil"

Taufan tertawa kecil, tangannya mengambil satu lagi es krim dan membukanya tanpa berkomentar apapun. Jujur saja walaupun ia banyak omong, tapi menjadi penengah bukan keahliannya, baik saat bersama Hali ataupun Solar yang sedang berseteru dan mengeluh, Taufan sering tak tau harus menanggapinya dengan reaksi apa.

Di satu sisi adalah kakaknya, sementara di sisi lainnya adalah sang adik yang butuh pembelaannya. Hal itu sering membuat pemilik mata safir itu sedikit sakit kepala menghadapi kedua orang yang tak beruntungnya sama-sama kepala batu.

Padahal dulu kedua elemental itu bisa dibilang saudara yang sangat dekat, jika Hali selalu emosi dengan tingkah Taufan, Blaze, juga Thorn tapi ia akan lebih nyaman jika Solar berada di dekatnya.

Tentu saja hal itu dikarenakan sifat introvert Hali dan Solar yang suka dengan ketenangan. Lagipula otak mereka sama-sama encer jika dibandingkan dengan Trio Trouble Maker pimpinan Taufan.

Tapi...

Setelah hari yang cepat itu, kenangan masa lalu hanyalah sejarah yang tak tertulis. Masih segar diingatan Taufan hari dimana semuanya hancur.

Saat pertama kali ia lihat adik Einsteinnya itu tak tau harus berbuat apa, juga ekspresi Hali yang tak bisa dijelaskan.

Ia pun terluka, sama seperti saudaranya yang lain. Ada suara dalam dirinya yang berbicara seakan ini memang sudah jalannya, namun hatinya tetap perih.

Perasaan benci yang besar, namun sekuat tenaga ia tanam dalam-dalam. Biarlah waktu yang mengikis rasa benci itu walau tak pasti.

Taufan menatap manik berlian Solar yang masih menerawang cukup lama, "Jangan dibiarin meleleh begitu, sesuatu yang didiamkan hanya akan membuatnya semakin terkikis dan habis", ucap Taufan akhirnya.

Solar menoleh, ada sedikit jeda sebelum ia membuka mulutnya dengan tatapan sendu itu. " ...biarin, toh tidak berguna kan", ucapnya sebelum kembali hanyut dalam lamunan.

Taufan tersenyum penuh arti, Dia pasti tidak suka melihatmu begini

Tak ada kata apapun setelah percakapan ambigu itu, kesunyian terasa jauh lebih baik daripada argumen kan?

• • •

"Kak, aku mau pergi ke rumah temen ya. Mm, mungkin agak malem baru pulang"

"Iya, mau aku antar?", tanya manik rubi itu menoleh pada sosok pemuda berbaju coklat disampingnya.

Gempa tersenyum hangat, " Ga usah kak, aku bisa sendiri kok"

"Hm, hati-hati. Makan dulu sebelum berangkat", ucap Hali

"Aku udah makan tadi, kalo gitu aku berangkat ya"

Hali mengangguk, kemudian menatap punggung sang adik yang menjauh dari dapur dengan tas coklat di lengannya.

Drrtt Drrt Drrt

Sesaat setelah pintu utama tertutup menelan bayangan Gempa, ponsel Hali bergetar menandakan sebuah panggilan telah masuk. Dilihatnya nama di layar itu yang memberitahu nama 'Ayah', ada sebuah jeda sebelum ia memutuskan menerima telpon.

"Halo"

"Hali, bagaimana kabarmu?", tanya suara disebrang.

" Baik"

"Apa semua baik-baik saja?"

"Hm"

"Baguslah, oh iya, ayah sudah transfer uang ke rekening kalian ya. Belajar yang benar. Solar dan Thorn sebentar lagi kan lulus, apa mereka sudah menentukan tempat kuliah mereka nanti?"

"...entah, kenapa tidak tanya saja?"

"Haih, kalau ayah tanya Thorn dia pasti menyuruh ayah yang tentukan. Kau tau kan adikmu itu jarang serius? Kalau Solar sih, ayah yakin dia akan mencari kedokteran tapi masih belum pasti kampus kedokteran terbaik untuknya", jelas Amato, ayah mereka.

" Tolong kau cari informasi ya Hali, kampusmu memang bagus tapi untuk jurusan dokter ayah tidak terlalu tau. Coba juga tanya Thorn apa dia mau pilih jurusan perkebunan atau pertanian, ayah rasa itu cocok untuknya"

Hali menghela nafas pelan, "Okay nanti aku cari tau"

"Terima kasih Li, sebentar lagi kan ujian kelulusan SMA, pastikan kebutuhan Solar dan Thorn terpenuhi ya dan mereka belajar giat agar mendapat nilai bagus", lanjut Amato.

" Iya"

Beberapa saat kemudian telepon mereka dimatikan, lagi menyisakan helaan nafas dari sang sulung.

Kuliah kedokteran? Heh, aku tidak akan membiarkannya berjalan dengan mudah

______

Author's Note

Hai readers, semoga kalian suka chapter ini yah

Jangan lupa vote and komen❤❤

Boboiboy Solar_You Never KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang