Baik atau kejam

770 99 14
                                    

Maaf, kuharap kau tidak marah padaku.

___________

Solar menghela nafas lelah, menatap refleksi dirinya sendiri di cermin kamar mandi yang agak buram karena hawa panas dari pancuran yang ia nyalakan. Ia menatap wajahnya yang pucat, sertakan beberapa luka lebam yang mulai memudar.

Susah payah ia mengompres wajahnya agar tak terlihat terlalu kontras dengan kulit putih cerah miliknya, walaupun tak keseluruhan tapi usahanya semalaman cukup memuaskan juga.

Tangan Solar bergerak perlahan membuka baju kaos abu yang ia kenakan, namun belum sempat baju itu terlepas sepenuhnya sebuah suara orang membuka pintu kamar terdengar. Solar berusaha menajamkan telinga untuk memastikan siapa yang masuk.

"Einstein! ayo bangun! udah jam berapa nih kau masih asik tidur? nanti rezekinya dipatuk ular tau rasa loh ya, ayo bangun!", suara orang itu menggema di seluruh penjuru kamar membuat Solar menghela nafas kesal.

Bisa-bisanya dia pura-pura seperti tidak terjadi apapun, batin Solar. Ia hanya heran saja kenapa Taufan selalu bersikap normal padahal ada begitu banyak hal yang sudah terjadi, apalagi semua hal itu mengarah menjadi salahnya, namun sang kakak safir itu seakan menutup mata dan telinga terhadap permasalahan selama ini.

Entah ia harus bahagia atau tidak namun Solar juga baru sadar sekarang, memang benar jika kakaknya itu tak pernah berubah sedikitpun bahkan setelah peristiwa naas yang menimpa mereka. Walaupun Taufan sudah mengatakan jika ia menganggap tak ada yang berubah dengan membencinya, Solar sedikit ragu, apakah sang kakak akan terus bersabar dengan masalah mereka ataukah...

"Solar? kau dimana sih?", panggil Taufan lagi, mau tak mau Solar membatalkan niat mandi paginya dan keluar setelah menutup keran pancuran.

Pintu kamar mandi terbuka menampakan remaja tampan berkaos agak oversize dengan rambut acak-acakan ala bangun tidur. Jujur saja Taufan terpesona dengan kharisma adiknya ini yang tak pernah hilang dari dulu, selalu saja terlihat tampan bersinar seperti lambangnya, cahaya.

"Pagi-pagi udah ribut, ganggu aja sih kak", keluh Solar dengan ekspresi agak kesal.

Taufan hanya tersenyum lebih lebar pada sang adik, "Itulah tujuanku kau tau? tidak boleh ada pagi yang tenang selama aku disini", ucapnya tertawa jahil.

Solar hanya memutar bola matanya seraya membereskan tempat tidur dari baju turtle necknya yang ia lempar begitu saja tadi saat mencari seragam untuk dicuci.

Taufan tersenyum sedih memperhatikan sang adik, dengan jelas ia melihat noda darah di baju itu namun ia tak berkomentar apa-apa. Taufan tak mau membuat mood sang adik jelek di pagi hari begini.

Benar, ia atau mungkin semua penghuni rumah tau perkelahian Solar dan Thorn semalam. Semua hinaan dalam kubah kemarahan yang seakan mewakili mereka, juga bagaimana sang bungsu nekat melakukan kekerasan fisik pada kakaknya sendiri, yang dulu begitu dekat dengannya.

Taufan tau Solar akan berusaha menutupi hal itu darinya, namun Solar terlalu naif, maklum, ia masih seorang remaja yang belum paham betul cara orang lain berpikir. Ia yang biasanya menggunakan logika tentu akan kesulitan memahami pemikiran dan perasaan orang lain, apalagi dengan sifat dingin bawaannya yang sedikit kaku itu.

Taufan tau, jika sang adik selalu mengabaikan perasaannya sendiri, mengesampingkan suara hatinya dan memilih melakukan kesibukan seperti belajar atau bereksperimen. Ia juga tau jika Solar hampir menyerah dengan semua yang telah terjadi.

Namun, Taufan tak tau, jika sang adik yang ia pikir terlalu sibuk untuk mendengar perasaannya, ternyata setiap malam selalu dipenuhi rasa penyesalan tak peduli betapa sibuknya ia. Selalu dikesunyian malam, ditengah kegiatan bergadangnya saat belajar atau di laboratorium, rasa bersalah dan kutukan pada dirinya selalu berdengung.

Kutukan karena telah ceroboh hingga menghancurkan segalanya.

Hingga semua berjalan begitu menyesakkan seperti ini.

Hingga saudara-saudara yang ia hormati dan sayangi merasakan penderitaan.

Dan disaat seperti itu, hal yang terbesit di kepalanya, adalah mengakhiri hidupnya.

Sudah berkali-kali Solar mencoba bunuh diri, sungguh banyak sampai ia sendiri bingung kenapa ia belum mati sampai hari ini. Berbagai cara telah ia lakukan namun nihil, ada saja halangan. Lucu, mungkin karena dosanya yang terlalu besar sampai nerakapun menolaknya, begitu pikir Solar.

. . .

"Eh Solar", panggil Taufan yang disambut tolehan kecil tanda sang adik menunggu ucapannya.

"Ayo main kerumahnya Gopal, dia tadi telpon katanya lagi kesepian dirumah"

Solar berbalik malas menghampiri sang kakak yang duduk santai di tempat tidur setelah menaruh baju dan celana kotor di keranjang.

"Lagi males kemana-mana, kakak kesana sendiri aja", jawab Solar menghempaskan diri di sebelah sang kakak.

Taufan tersenyum, tangannya yang usil itu mengacak rambut Solar hingga semakin berantakan. "Ayolah, aku ga mau kesepian di perjalanan nanti".

"Ada yang harus kuurus juga setelah rumah Gopal. Kau ikut ya, nanti aku traktir deh", bujuk Taufan lagi disambut putaran mata oleh Solar. Memang kakaknya ini jika sudah membujuk selalu membuatnya kesusahan.

"Ayolah"

"Ayo yo ayo...yo ayo yo yo ayo...yo ayo yo--"

"Iyaiya! keluar sana aku mau mandi!", jawab Solar geram sembari mengacak rambut coklat miliknya.

Sementara Taufan berdiri seraya tertawa penuh kemenangan, dan berjalan mundur dengan pose hormat beraura jahil khasnya.

Solar menghela nafas lagi, "Apa boleh buat, kurasa keluar sebentar bisa membuatku berpikir lebih jernih", gumamnya seraya membuka pintu kamar mandi.

.

.

.

"Apa kau yakin mau melakukan ini?", tanya suara dibalik telepon, keraguan terdengar jelas dari kalimat yang ia ucapkan dengan hati-hati.

Lawan bicaranya melukiskan sebuah senyum dingin yang tak dimengerti artinya, "Iya, kau harus berhati-hati Va"

"Fan, kau tau kan ini bukan hal remeh? Jangan membawa candaanmu pada hal seperti ini, kau pasti tau Solar akan marah besar jika tau kan?", ucap suara itu lagi berusaha menyadarkan sang lawan.

Pemuda beriris biru safir itu menghela nafas yakin, seakan keputusannya tak bergantung dari kemauannya melainkan pada situasi yang memaksa. "Iya Alva, hanya ini cara yang bisa kupikirkan"

"Tapi bagaimana kalau gagal? dan bagaimana kalau dia tau itu ulah kita?"

Taufan tertawa kecil, "Jangan berpatokan pada yang gagal, kau harus percaya pada keberhasilan dong".

"Lalu bagaimana jika saudaramu yang lain tau?", tanya Alva lagi. Ia benar-benar habis akal dengan pemikiran kawan sekaligus sepupunya ini.

"Tenang aja, yang paling awal pulang hari ini sepertinya hanya Ice jam 6 sore, itupun belum tentu ia langsung ke rumah, Thorn juga masih ada pelajaran tambahan pra ujian. Jadi lakukan sebelum jam 6 ya, sepertinya akan aman"

Kini giliran Alva yang menghela nafas gusar, tetap saja ia takut jika mereka ketahuan tapi ia tau Taufan sudah memikirkan ini dengan matang. Mungkin Taufan ialah orang yang jarang serius, namun sekali ia dihadapkan pada situasi berat, ia bisa menjadi sangat terampil bahkan sangat serius walau masih bertingkah santai.

"Tidak tau harus menyebutmu kakak yang baik atau kejam, resiko tanggung sendiri nanti", ucap Alva akhirnya yang disambut tawa lagi oleh pemilik manik safir.

_________

Author's Note

Ya...begitulah:)

Boboiboy Solar_You Never KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang