Berakhir dengan bahagia

458 88 46
                                    

Emosinya terasa tergerak untuk meluap, saat manik ruby miliknya menangkap sosok yang tengah terduduk disana. 

Semua orang terdiam, termasuk dirinya. Jauh dari espektasi, ia pikir akan menemui sang ayah dengan tenang untuk kemudian menutupi kejadian sebenarnya antara mereka. Tapi, kehadiran Solar seakan meruntuhkan semua rencana Hali.

Dengan tajam ia mengunci manik silver sang adik yang juga terdiam. Syok. Seperti disambar petir. Tak siap dengan kedatangannya.

Ingatan tentang bagaimana Ibunya berakhir ditangan Solar kini berputar dengan jelas tanpa melupakan satu detikpun. Rasanya Hali mau meledak, jika saja ia sedang diluar kendali, mungkin tangannya akan terangkat untuk menyalurkan emosi pada Solar.

Tak ada pergerakan antara keduanya dalam beberapa saat tatapan bak percikan petir. Sebuah suara terdengar memecah keheningan.

"Duduklah Hali. Berhubung kau sudah datang, ayah mau bicara dengan kalian berdua", ucap Amato santai. Seakan tak menyadari adanya masalah apapun.

Hali tak bergeming. Apalagi Solar. Pemuda bermanik silver bahkan tak mampu bernafas dengan benar, tubuhnya gemetar, perasaan takut dan trauma muncul. Satu hal yang ada dalam benaknya, lari. Lari jauh dari mereka. Dari orang ini.

"Hali", panggil Amato lagi. Panggilan yang menyadarkan sang sulung dan membawanya pada kenyataan.

"Ayah bohong padaku"

Amato tak mengiraukan jawaban tak terduga dari sang sulung. Ia melirik reaksi Solar, betapa putranya itu seakan memiiki ketakutan yang besar pada saudara yang telah hidup bersamanya sekian lama.

Menyadari kecanggungan yang ada, Solar tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ia tersenyum canggung, "Suasananya jadi tidak baik karna aku, kalau begitu aku pergi saja", pamit Solar. Namun, baru hendak melangkah, sebuah tawa sinis terdengar. Tawa yang jika dulu begitu menyebalkan untuk ia dengar, namun kini seperti tercium nada penghinaan.

"Kenapa begitu terburu-buru? bukankah kau sudah menggunakan kartumu untuk mendapat pembelaan?", sindir Hali. Menatap tajam pada sang adik. "Jadi, daripada kau tidak menuntaskannya, lebih baik kau beritahu ayah bagaimana kami memperlakukanmu. Sampai kau puas, bukankah itu yang kau rencanakan?"

Solar terdiam. Tidak mengerti apa maksud dari kalimat Hali. Sementara kini, Hali melirik pada sang ayah. "Selamat datang Yah. Awalnya aku ingin menyambutmu, tapi sepertinya, sekarang pandangan ayah padaku sudah berubah, jadi kurasa tidak ada lagi yang perlu kujelaskan", ucap Hali. Lalu ia berbalik pergi. 

Rasa kesal memenuhi dirinya saat mengetahui sang ayah ternyata berbohong dengan mengatakan jika ia ingin bertemu dengan Hali dulu sebelum yang lain. Terlebih, kenapa harus orang itu? orang yang begitu ia benci? kenapa sang ayah harus mempertemukan ia dan orang itu?

Namun, pikiran Hali terhenti, saat tangannya bergerak menekan tombol untuk membuka pintu. Tombol itu mati. Pintupun tidak terbuka, bahkan sensor otomatis juga mati.

Disisi lain, Amato menaruh gelas kosong dimeja. Mungkin menjadi kopi terakhir untuk hari ini.

"Ayah bilang duduk dulu sebentar", ucapnya dengan serius namun terkesan ringan.

Sial. Batin Hali. Ia sudah terjebak.

"Ayah janji tidak akan lama. Ayah hanya mau meluruskan sedikit kesalahpahaman antara kalian. Jika kau masih menganggapku sebagai ayahmu, maka kemari dan duduklah Hali. Kesampingkan dulu emosimu itu". Amato menatap punggung Hali, tanpa menyadari jika Solar adalah pihak yang paling takut jika sampai Hali menerima ajakan sang ayah.

Hali tak menjawab. Iapun tak berusaha menekan tombol pintu otomatis. Ia tau sang ayah merencanakan pertemuan ini dengan baik.

Menyadari situasi tidak seramah yang ia pikir, Amato menghela nafas panjang. Ada jeda dalam beberapa saat sebelum ia memandang satu persatu putranya.

Boboiboy Solar_You Never KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang