Captain, Navigator, and The Savior

542 84 141
                                    

Babak belur.

Itulah kata yang mampu mendeskripsikan kondisi dari pria yang lagi-lagi dihempaskan dengan kasar oleh sebuah tangan robot.

Dinding, lantai, bahkan besi baja yang begitu kuat rusak oleh tubuhnya sendiri. Bisa bayangkan betapa kuat robot itu menyiksa Hali. Tak memberinya nafas, hanya memberinya siksaan dan tidak memandangnya sebagai manusia.

Dengan pasti benda itu kembali membuka dua jarinya hendak mencapit tubuh Hali lagi.

Hali yang melihat itu berusaha menjauhkan diri dengan menyeret tubuhnya yang lemah, usahanya sudah pasti hanya akan sia-sia.

Beberapa bagian tubuhnya sudah tak dapat ia rasakan berfungsi seperti seharusnya, bagaimana tidak? diruangan itu sudah terlukis darah dari dirinya. Bukan hanya sang pemompa darah yang terus megalirkan cairan penopang kehidupan itu, namun luka Hali kini benar-benar tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata.

Kemeja yang ia yakini sebelumnya berwarna putih, namun kini justru warna putih itu hanya menjadi hiasan ditengah warna merah yang melukisinya.

Semua orang hanya menatap penderitaannya. Tak ada tanda-tanda ingin mengakhiri ini semua. Tidak sampai Hali membuka mulut akan keberadaan adik yang diyakini telah disembunyikan.

Profesor yang membawa controller robot hendak menggerakan robotnya lagi, tapi sebuah sinyal untuk berhenti akhirnya diberikan oleh sang pemimpin.

Profesor Ace menyeringai puas, lalu berdiri dan mendekati tubuh Hali sekali lagi. "Aku akui tekadmu memang kuat anak muda.."

"Tapi..bukankah terlalu kejam untuk menyika dirimu sendiri hanya untuk menyembunyikan seseorang yang cepat atau lambat akan kami temukan?", ucapnya diikuti tawa kecil.

Diangkatnya kerah baju Hali dan ia dihempaskan ke dinding dengan kasar, hanya menggunakan satu tangan saja. Bahkan kaki Hali tak menyentuh lantai. Darah mengalir dari pelipisnya akibat luka goresan besi.

"Ayolah Hali. Jangan keras kepala begitu. Paman hanya ingin tau adikmu yang kau sembunyikan itu sebenarnya ada dimana? paman tidak minta apa-apa lagi. Jadi berhentilah bersikap keras kepala seperti ini untuk melawanku"

Dengan sisa tenaga yang ia punya, Hali mencoba melepas tangan yang mencengkram kerah bajunya, tapi itu tak mengubah apapun. Ia tak lebih adalah seorang yang sudah tak berdaya lagi sekarang.

"aku..tidak tau...apa yang kau..maksud..", ucapnya pelan diselingi batuk berdarah yang begitu menyakitkan.

Sebuah senyuman tipis dan tawa kecil terdengar. Profesor Ace tidak menyangka jika Hali tumbuh menjadi laki-laki yang rela mengorbankan dirinya sendiri untuk melindungi adiknya. Sungguh tidak bisa diprediksi karena seingatnya, dulu Hali terlihat sangat apatis.

Sangat mirib dengan Mara. Batinnya.

Lelaki berambut hitam dengan sedikit putih akibat umur itu menghela nafas. "Begitu ya. Rupanya menyiksamu sampai seperti ini saja masih tidak membuahkan hasil. Tidak apa-apa. Kalau begitu..."

Tiba-tiba, tangannya yang lain kembali memunculkan lima pisau sebagai pengganti jarinya. "..paman tidak memerlukanmu lagi..Halilintar.."

Tepat setelah ucapannya, benda itu menyeruak ke jantung Hali. Dengan penuh kebencian, profesor Ace menekan dalam-dalam pisau ditangannya. Meninggalkan sang tuan memuntahkan lebih banyak darah dari mulutnya. Bahkan berteriapun tak mampu ia lakukan lagi.

Pisau itu dicabut dengan kasar. Tapi tak berhenti disana, lelaki kejam dengan aura pembunuh itu kembali menusuk tempat yang sama.

"Mati saja kau", ucapnya. Melakukan hal sama. Berulang-ulang.

Boboiboy Solar_You Never KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang