Abang galak kek gledek

803 102 38
                                    

Entah kenapa, langit biru ini terasa aneh.

Seakan ingin mengatakan sesuatu lewat kumpulan awan yang tertiup angin.

Padahal mentari bersinar begitu cerah, tapi hatinya malah gelisah.

.

.

.

Solar melangkah masuk mengabaikan semua mata yang teralih tak ingin melihatnya. Ia tak terkejut ataupun heran, memang begitulah biasanya mereka bereaksi jika tanpa sengaja Solar datang disaat mereka berkumpul di ruang tamu.

Hening, hanya langkah sepatu Solar yang terdengar beradu dengan lantai. Saat kakinya ingin menapaki anak tangga pertama, seseorang bersuara memanggilnya, "Solar", ia tak menoleh melainkan hanya berhenti untuk menunggu maksud dari orang yang memanggilnya.

"Lar", panggil orang itu lagi. Ia tau betul suara itu adalah milik sang kakak keduanya. Taufan memegang lembut bahu Solar bermaksud mendapat perhatiannya hingga kini manik silvernya bertemu dengan manik biru safir Taufan.

"Kau pergi ke ruangan ayah ya", ucap Taufan agak ragu, sorot matanya menunjukan suatu ketidakberdayaan...lagi. Sorot mata yang kadang membuat Solar berpikir jika kakaknya itu hanya bersandiwara akan kebahagiaan yang ia tunjukan, kini ia bisa melihat sorot mata itu lagi.

Wajahnya masih datar tak ingin memberi ekspresi apapun, "Kenapa?", tanyanya.

Taufan terdiam sejenak, melirik sedikit pada saudaranya yang lain sebelum meraup udara dan menghela nafas. "Kak Hali menunggumu", ucap Taufan akhirnya.

"Untuk apa?", tanya Solar lagi. Heran karena tumben sekali sang kakak sulungnya itu sudi memanggilnya, ia kira bahkan melihat wajahnya saja ia akan murka lalu untuk apa dia mau satu ruangan dengannya sekarang?

Taufan sekali lagi memegang lembut bahu Solar seakan memberitahunya agar pergi saja tanpa bertanya. Seketika firasat Solar kurang baik, seingatnya ia tak melakukan hal yang berarti akhir-akhir ini lalu apa ada masalah? Ia tak bisa menebak apapun, hal ini terlalu asing untuknya.

Dengan agak terpaksa ia membenarkan posisi tas yang ia gendong di sebelah bahu dan berbalik menuju ruangan sang ayah yang berada di ujung ruang tamu. Ruangan itu memang office yang digunakan Amato untuk mengurus pekerjaan yang bisa dilakukan dirumah, namun semenjak ia pergi ke luar negeri, Halilah yang menggunakan ruangan itu.

Tentu ia harus menggunakannya, Amato telah mempercayakan perusahaan pada Hali jika saja ia harus pergi untuk urusan luar seperti ini. Bukan saja untuk mempersiapkannya untuk benar-benar memegang tampuk kepemimpinan nanti, namun agar Hali juga bisa belajar langsung dari pengalaman mengingat ia memang seorang mahasiswa jurusan bisnis, maka perusahaan sang ayah adalah tempat yang paling tepat untuknya mengimplementasikan semua ilmu bisnis yang ia punya.

Para pegawai perusahaanpun telah terbiasa jika Hali datang menggantikan Amato, hal seperti itu sudah biasa untuk Hali yang memang telah sangat kompeten dalam bidangnya. Menjadi CEO pengganti diusia yang terbilang sangat muda, ia bahkan bisa menyusun banyak strategi untuk menaikkan keuntungan perusahaan.

Perlahan pintu itu terbuka, menampakan sosok bermanik ruby yang masih fokus pada layar laptopnya. Ia masih mengenakan celana hitam dan kemeja putih walau dasinya sudah ia tanggalkan menyisakan satu kancing paling atas telah ia buka. Sepertinya ia baru saja datang dari kantor hingga tak sempat berganti pakaian.

Solar berdiri di ambang pintu, menunggu Hali menyuruhnya masuk atau langsung saja memberitahu hal apa yang ia mau darinya. Dapat ia rasakan jantungnya berdegup lebih cepat karena keheningan canggung yang tercipta sampai manik ruby Hali teralih padanya.

Boboiboy Solar_You Never KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang