1

2.9K 291 68
                                    

Selamat siang si gemes ☺🙃

...

Berdasarkan peta skala sedang, pulau Jawa memang nggak lebih besar dari telapak tangan orang dewasa. Jakarta juga bisa di ukur dengan ruas jari tengah atau telunjuk. Pun demikian, pulau Jawa tetaplah kawasan terpadat se-Indonesia. Bahkan ibukota Jakarta sendiri menampung setidaknya 11 juta penduduk yang terdaftar di Disdukcapil.

Sebegitu ramainya penduduk Jakarta yang berpotensi jadi tetangga Aleesha, mengapa harus si lelaki alis camar yang akhirnya menempati posisi itu? Di banding takdir, Aleesha lebih sudi menyebutnya kebetulan. Tapi kebetulan macam apa yang membawanya pada kesialan?

"Kamu kenal?" Suara parau sang Ibu menyentak lamunan Aleesha.

"Nggak lah. Dia siapa sih?" Balas perempuan itu.

"Mickey, kokonya Minnie."

Kepala Aleesha sontak tertoleh ke samping. Mulutnya menganga mendengar jawaban yang lebih tua. Yang benar saja? Pikirnya.

"Tante Joan penggemar tikus atau gimana sih, Bu?"

"Hus! Nggak boleh ngomong gitu, ntar orangnya marah, bisa-bisa rumah kita di lempar tai Madonna."

Pagar rumah sebelah tiba-tiba terbuka, Jenita reflek menarik tangan Aleesha dan membawa putrinya masuk ke dalam rumah. Dia enggan beramah-tamah dengan tetangga sebelah rumahnya.

"Cut, ini apa?"

Mata bulat Aleesha seakan melompat sebab sehelai kain di tangan sang nenek.

"Itu... Punya temen Cut, nek! Buat kenang-kenangan. Hehe." Aleesha menipiskan bibir, berharap kalo alibinya membuahkan hasil.

"Oh, kirain oleh-oleh juga. Bagus nih kalau di pakai dek Meutia."

Anjir, masa badan semok Aleesha disamain sama bocah 5 tahun? Aleesha jelas nggak terima.

"Jangan, nek. Ini untuk Cut simpan." Tangannya sigap mengambil alih mini dress floral tersebut.

Kediaman Pak Hasan hari itu cukup ramai sebab kunjungan keluarga besar. Mereka memang sengaja datang demi menyambut Aleesha yang akhirnya pulang setelah 4 tahun merantau di negeri orang.

Yang dari Aceh ada nenek dan kakek Aleesha, Tante Aleesha beserta kedua anaknya, dan Paman Aleesha bersama istri dan anaknya. Sementara dari Padang hanya ada Uci Aleesha dan adik perempuan dari sang Ibu.

Untung saja Aleesha membeli banyak oleh-oleh, kalo tidak mau di taruh ke mana muka Ayahnya?

"Kak Cut, kenapa ndak bawa pulang salju?"

"Iyaaa... Padahal Tia sudah pamer ke teman-teman. Kata Bunda nanti kak Cut bawa salju dalam botol aqua."

Aleesha menatap sengit si pelaku pemberi harapan palsu. Bukannya merasa bersalah, yang di tatap justru mengejek Aleesha dengan tampang konyolnya.

Pemikiran orang kampung memang agak rada-rada. Cibir Aleesha dalam hati.

"Saljunya belum ada, dek. Tunggu setahun lagi." Balas Aleesha sekedarnya.

"Oi, randangnyo alah masak, jan bacarito se, indak akan tarisi paruik nan litak." Wanita renta lainnya muncul dari balik dinding pembatas ruang tengah dan dapur.

Kalo kumpul-kumpul keluarga seperti ini, kesebelasan Minang memang kerap bertugas di dapur. Bukan karna masakan Minang lebih diminati, tapi karna keluarga dari pihak Ibu adalah penjaja kuliner yang sudah terbiasa menangani api dan wajan.

Lihat saja pemandangan di atas meja makan, beragam lauk-pauk dan lalapan hampir memenuhi meja kayu berukuran 2 meter persegi itu. Rasanya seperti menghadiri perjamuan mewah keluarga bangsawan di Eropa, minus daging kalkun utuh di tengah-tengah meja.

Don't Play-play (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang