Usai tunaikan sholat isya, Aleesha buru-buru rapikan perlengkapan sholatnya, gantikan daster tipisnya dengan celana training panjang dan hoodie kebesaran, kemudian bergegas keluar dari kamar.
"Mau ke mana?" Tanya Hasan saat mendapati putrinya berjalan menuruni tangga.
"Mau jajan. Ayah, minta duit."
Aleesha menyengir lebar sambil menengadahkan tangan. Terlampau menggemaskan hingga sang Ayah nggak bisa tahan diri untuk menguyel-uyel pipi putri semata wayangnya itu.
"Ayah, ih!" Protes Aleesha.
"Baru seminggu lalu Ayah transfer 3 juta, kok udah minta duit lagi?"
"Kemaren kan Echa ke salon, Ayah. Masa Ayah lupa sih?"
Yang lebih tua membalas dengan senyuman hangat. Anak gadisnya benar-benar sudah beranjak dewasa. Sudah tahu cara merawat diri. Mainannya juga bukan boneka lagi, tapi seperangkat produk kecantikan. Sebagai orangtua, Hasan jelas merasa senang, sekaligus sedih.
"Anak Ayah tiba-tiba rajin ke salon. Kira-kira buat siapa ya? Hmm... Ayah tau nih kayaknya. Jangan-jangan yang di samping rumah."
"Apa sih!"
Hasan tertawa renyah melihat wajah malu-malu Aleesha. Biar jarang di rumah, Hasan sama sekali nggak pernah lewatkan hal-hal yang berhubungan dengan putrinya. Termasuk kabar tentang Aleesha yang sedang di taksir Narendra.
"Bisa-bisanya Rendra naksir anak Ayah." Ledek pria paruh baya itu.
"Ya bisalah! Echa masih muda, cantik, pinter ngaji, terus berprestasi. Ya kali kak Rendra nggak naksir!"
Sang Ayah kembali tergelak. Terdengar sombong memang, pun demikian nggak ada yang bisa menyangkal ucapan Aleesha barusan. Fakta berbicara, Aleesha adalah 1 dari beberapa putra/putri daerah yang diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke luar negeri melalui jalur prestasi.
Sebelum pindah ke Jakarta, mereka dulunya menetap di Banda Aceh, mengikuti Hasan yang saat itu masih menjabat sebagai dekan di salah satu Universitas di sana.
Nama Aleesha sempat viral se-provinsi Aceh pada masanya, sebab saat itu dia berhasil memenangkan ajang MTQ tingkat internasional. Pasca pencapaiannya, Aleesha dihubungi oleh pihak pemerintah sekedar menawarkan beasiswa. Ada 2 kampus yang ditawari, Al-Azhar di Mesir dan Istanbul 29 Mayıs di Turki.
Karena Aleesha alumni dari Fatih bilingual school, lantas Turki jelas menjadi pilihannya. Namun siapa sangka kalo Turki justru jadi titik balik seorang Aleesha yang sholeha?
"Iya deh, anak Ayah memang nggak ada lawan." Balas Hasan akhirnya.
Omong-omong si Ibu sedang sibuk menganalisa pemasukan dan pengeluaran toko untuk bulan ini, sehingga nggak ikut nimbrung dalam obrolan suami dan anaknya.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam..." Aleesha dan kedua orangtuanya menyahut kompak.
Nggak perlu cari tahu siapa yang datang sebab beberapa saat setelahnya, wajah sumringah Raisa dan Minnie segera muncul di balik dinding. Kedua orang itu bahkan nggak menunggu dibukakan pintu.
"Kok lama sih kak? Kita udah nungguin dari tadi." Minnie lebih dulu bersuara.
"Duduk dulu kalian." Tepis Hasan.
Imej dosen killer terlalu melekat di diri Hasan, meskipun dia sudah lama nggak ngajar. Nggak heran kalo Raisa dan Minnie reflek mendudukkan diri di atas karpet, mengikuti perintah satu-satunya pria di sana.
"Ayah!" Protes Aleesha yang di sambut tawa jenaka.
"Iya, iya. Ayah cuma becanda. Jadi, sebenarnya kalian mau ke mana? Minnie?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play-play (END)
FanfictionAnother cliche story; kisah cinta beda keyakinan (not that serious tho) CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • Love story • Fluffy, comedy, friendship, family • Harsh words • 18+