34

1.3K 210 12
                                    

"Kurangin cabenya, woi! Gue nggak mau mati mencret..."

Raisa bersungut-sungut kesal. Sedari tadi kerongkongannya terus-terusan menelan saliva sebab mulutnya nggak berhenti memproduksi cairan kompleks tersebut. Penyebabnya apa lagi kalo bukan bau cabai yang sangat menyengat.

"Tapi segini doang nggak bakal pedes..."

"Nggak pedes pala lu bulet! Baunya udah nyengat banget, setan..." Geramnya.

"Ck. Mulut lo bisa kalem nggak, sih? Kasih contoh yang baik buat anak gue..."

Perempuan lainnya nggak mau kalah. Dia balik memelototi Raisa seraya mengacungkan sendok ditangannya. Siapa lagi kalo bukan Aleesha si anak nakal. Duh, belum saja dia lempar logam berat itu ke muka Raisa...

"Anak lo belum punya kuping, njir. Stres nih orang." Raisa lagi-lagi menyulut emosi Aleesha.

"Belum punya kuping bukan berarti--"

"Girls, stop. Ngebacot terus rujaknya nggak bakal jadi..."

Sekonyong-konyong Minnie memotong perdebatan dua perempuan didepannya. Niat hati ingin quality time bareng malah di rusak dengan perdebatan Aleesha dan Raisa yang nggak berkesudahan. Perkara selera saja bisa sampai segitunya. Padahal rujaknya bisa di pisah sesuai selera. Aleesha suka pedas, silahkan. Raisa nggak suka pedas, juga silakan. Apanya yang susah?

"Tau, ah! Males banget sama Raisa." Sahut Aleesha, kemudian melempar pelan sendoknya.

"Lah? Malah ngambek."

Astaga, ingin sekali Aleesha cakar-cakar muka tengil si tetangga sekaligus mantan calon adik iparnya itu. Raisa harus berhenti sebelum Aleesha benar-benar mengamuk. Pasalnya bumil hari ini sangat sensitif.

"Teh, please. Kak Echa lagi hamil, teteh ngalah ya?" Syukurlah, setidaknya masih ada Minnie yang paham situasi.

Bukannya Minnie bermaksud memihak Aleesha, hanya saja Mickey nggak pernah absen mengingatkan adiknya untuk selalu menjaga Aleesha saat mereka bersama. Jadi sikap Minnie barusan sama sekali nggak berhubungan dengan status Aleesha yang sebentar lagi akan jadi kakak iparnya, oke?

"Ya deh... Apa kata bumil aja." Minnie sontak hembuskan napas lega. Rupanya Raisa masih bisa di ajak bekerja sama.

Senyum cerah Aleesha seketika tersungging. Moodnya menanjak naik. Senang rasanya diperlakukan sedemikian rupa. Andai kata Raisa nggak mau mengalah, besar kemungkinan Aleesha akan bertingkah seperti orang kesurupan.

Perempuan itu nggak akan segan mengacak-acak barang-barang didepannya lalu kabur tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Untuk apa berlelah-lelah ngerujak sementara dia punya Mickey yang senantiasa memenuhi semua keinginannya?

"Tenang aja, cabenya nggak gue tuangin semua kok... Hehe."

Nggak dituang semua tapi sisanya nggak lebih dari seujung jari. Raisa dan Minnie sampai ternganga melihatnya. Keduanya tampak susah payah menelan ludah membayangkan betapa pedasnya rujak buah mereka. Bahkan baunya tercium seperti tahu gejrot yang di beri cabai sekilo. Sialan Aleesha. Apa dia berniat untuk membunuh bayinya? Kalo Mickey tahu hal ini bisa gawat sih...

"Kak, no! Jangan di makan, gue takut lo kenapa-napa."

Minnie sigap menahan tangan Aleesha sebelum calon kakak iparnya itu memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya. Tangan Aleesha yang semula terangkat kembali turun. "Apa-apaan sih?!" Protesnya nggak suka.

"Gue paham lo lagi ngidam makanan pedes, tapi nggak gini juga dong, kak! Itu cabenya banyak banget..."

Tadi Raisa, sekarang Minnie. Aleesha mau kabur saja rasanya. Kalo anaknya terlahir ngeces, Minnie dan Raisa akan dia kejar sampai ke liang lahat. Lagi pula mereka nggak lupa kalo lidah Aleesha made in Sumatra, kan? Masa mau disamakan dengan lidah Sunda Raisa dan lidah Chinese Minnie? Ya beda lah...

Don't Play-play (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang