Aleesha risih sebab di tatap terus-terusan dari kaca spion. Mana si Mickey senyum-senyum sambil pamer giginya yang putih kinclong? Sepertinya Mickey memang senang memancing keributan. Selain flirting dari kaca spion, lelaki itu juga terang-terangan menggoda Aleesha dengan membelai lengan Aleesha yang melingkar diperutnya.
"Liat jalan anjir! Nabrak lo ntar..." Protes Aleesha akhirnya.
Mickey terkekeh renyah. Merasa berhasil memancing emosi yang lebih muda. Lagian Aleesha juga aneh, ekspresinya saja seolah-olah kesal pada Mickey tapi tingkahnya justru perlihatkan sebaliknya.
Mana ada orang kesal tapi sumber kekesalan itu di peluk sedemikian erat? Kalo di lihat dari kaca mata orang awam, Aleesha dan Mickey saat ini nggak ada ubahnya seperti pasangan pengantin baru yang masih dalam suasana berbulan madu.
"Betewe gue mau ketemu temen bentar! Ikut ya?!"
"Nggak usah teriak-teriak lo, jamet!"
Mickey memutar bola matanya gemas. Kalo dia nggak teriak si Aleesha mana bisa dengar? Selain tertutupi helm, kuping Aleesha juga dilapisi kerudung, omong-omong.
"Gimana, mau ikut?!" Tanyanya lagi, mengabaikan ucapan Aleesha sebelumnya.
"Lama?"
"Enggak! Bentar doang..."
"Oke deh."
Lagi pula Ibu dan Ayah pasti akan lama. Aleesha terlalu malas sendirian di rumah, jadi nggak ada salahnya ikut si Mickey, benar?
"Tapi, ko?" Aleesha terdengar ragu.
"Why?"
"Lo oke bawa gue begini?"
"Maksud?" Heran Mickey.
"Kalo temen lo nggak nyaman liat penampilan gue gimana?"
Sepersekian detik keduanya beradu tatap melalui kaca spion. Sebenarnya Mickey sama sekali nggak permasalahkan penampilan Aleesha, justru Aleesha-lah yang selalu nggak pede dengan penampilannya. Padahal menurut Mickey sudah sewajarnya perempuan muslim berpakaian serba tertutup.
"Temen gue juga muslim." Balas Mickey kemudian, yang di sambut helaan napas lega Aleesha.
Nggak ada yang angkat bicara lagi setelahnya. Kedua orang itu kembali larut dalam peran masing-masing. Mickey yang kembali fokus mengendarai motor, sementara Aleesha hanya duduk anteng di jok belakang.
Belasan tahun Mickey mendiami kota Jakarta, kemacetan hampir nggak pernah absen tiap harinya. Seakan macet sudah jadi identitas kota seluas 661,5 kilometer tersebut. Agak lain memang, tapi begitulah kenyataannya.
Pun demikian, terjebak dalam macet nggak selalu buruk. Seperti sekarang contohnya, Mickey nggak bisa menahan senyumannya saat melihat wajah merengut Aleesha.
Bahkan tangannya tanpa sadar mengusap lengan Aleesha yang melingkar diperutnya, lagi.
"Panas, ko..." Aleesha merengek sambil memukul-mukul paha Mickey.
"Namanya juga Indonesia, ya panas lah..." Sahut Mickey.
"Tapi Lembang nggak panas tuh, Berastagi juga nggak panas. Padahal masih Indonesia."
"Dataran rendah lo samain sama dataran tinggi, sehat lo? Nggak heran kalo nilai geografi lo di bawah KKM."
"Gue anak IPA ko."
"Masa sih? Kok gue nggak percaya?"
"Emang muka gue keliatan suka bohong gitu?"
Pertanyaan Aleesha di sambut anggukan kepala Mickey. Sialan. Sepertinya dari sekian banyak manusia, cuma Mickey yang nggak akan bisa dia bohongi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play-play (END)
FanfictionAnother cliche story; kisah cinta beda keyakinan (not that serious tho) CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • Love story • Fluffy, comedy, friendship, family • Harsh words • 18+