Bonus karna komen kalian lucu-lucu 😂🐒
...
"Echa sayang..."
Aleesha mengerjap pelan, membiasakan cahaya yang masuk ke retinanya. Mata bulatnya mengedip-ngedip lucu, namun setelahnya melebar saat mendapati jarum jam sudah menunjukkan angka 15.25. Sial. Agaknya dia kebablasan.
Samar-samar terdengar langkah kaki mendekat ka arah kamarnya lalu berhenti di depan pintu. Nggak perlu mencari tahu siapa yang ada di balik pintu tersebut. Siapa lagi kalo bukan Ibu tercinta?
Cklek
"Astagfirullahaladzim... Ibu panggil-panggil dari tadi, kirain anak Ibu hilang ke mana..." Celoteh Jenita.
"Ibu..."
"Chat Ibu juga nggak di balas. Kamu tidur dari jam berapa sih, nak?"
"Ibu..."
Jenita praktis terdiam, lantas memindai penampakan kamar Aleesha saat ini. Jendela dan gorden tertutup rapat, pun pendingin ruangan sengaja dimatikan. Seketika dia tersadar kalo kamar putrinya nggak sehidup biasanya.
"Anak cantik Ibu kenapa? Kamu sakit?" Panik Jenita seraya menyentuh dahi Aleesha. "Panas banget." Ucapnya lagi.
"Ibu..."
"Iya sayang, Ibu di sini. Anak Ibu sudah makan?"
Bukannya menjawab pertanyaan sang Ibu, Aleesha justru tumpahkan tangisnya. Perempuan itu menangis sejadi-jadinya sambil peluk erat Ibunya. Wajahnya dia tenggelamkan di perut wanita yang sudah melahirkannya itu.
"Maafin Ibu ya? Ibu nggak tau Echa lagi sakit. Echa pasti sedih ya Ibu tinggal sendiri?"
Aleesha semakin meraung-raung. Meski suara Aleesha teredam, namun Jenita masih bisa dengar permintaan maaf dari mulut gadis itu. Entah untuk apa itu, Jenita pun nggak tahu. Tangannya bergerak naik, mengusap lembut rambut Aleesha, berharap putri semata wayangnya bisa lebih tenang.
"Baring yang benar, nak. Ibu ambil kompresan dulu." Aleesha menggeleng ribut. Nggak mau Ibunya pergi ke mana-mana.
"Echa?"
"Nggak mau. Ibu di sini aja. Hiks."
Rasanya sudah sangat lama Jenita menangani Aleesha yang rewel. Putrinya memang super manja saat sedang sakit. Terlebih pada Ayahnya.
"Jangan dong. Kalau Ibu di sini terus nanti Ibu ikutan sakit. Terus yang rawat kita siapa? Ayah lagi nggak ada..."
"Huaaaa Ayahhh...!!"
Sepertinya Jenita sudah salah bicara. Si Ayah lagi di luar kota kok malah di sebut-sebut? Sudah tahu Aleesha anak Ayah. Kalo begini ceritanya Jenita harus bagaimana?
"Iya, iya. Nanti kita telpon Ayah, ya? Sekarang baring yang benar dulu, Ibu mau ambil obat sama kompresan biar anak Ibu cepat sembuh." Bujuk Jenita sedemikian sabarnya.
Pasalnya Aleesha masih menangis tersedu-sedu. Tapi setidaknya gadis itu masih mau menuruti Ibunya untuk berbaring seperti semula. Jenita sigap meraih bantal lalu tidurkan kepada Aleesha diatasnya.
"Ibu tinggal sebentar ya? Gordennya perlu di buka--"
"Nggak!" Tepis Aleesha secepatnya.
Jenita di buat heran sebab respon Aleesha yang terlampau cepat, namun nggak urung bawa langkahnya keluar dari kamar sang putri.
Aleesha menatap nanar punggung Ibunya yang perlahan menghilang di balik pintu. Isakan tangisnya belum surut, pun dadanya naik turun menahan emosi yang hendak meledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Play-play (END)
FanfictionAnother cliche story; kisah cinta beda keyakinan (not that serious tho) CW! • Markhyuck face claim • Genderswitch • Love story • Fluffy, comedy, friendship, family • Harsh words • 18+